Dinsdag 30 April 2013

ILMU KALAM: Wahyu dan Akal


A. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : WAHYU DAN AKAL
Pembicaraan tentang wahyu dan akal adalah topik tua yang masih sering tampil. Hangat untuk diperbincangkan. Filosof, cendikiawan, ulama, mahasiswa dan masih banyak lagi yang lain sering membahas masalah tersebut. Pemahaman kita terhadap hubungan keduanya akan memiliki pengaruh yang besar bagi pandangan kita terhadap kehidupan. Karena wahyu adalah refresantasi terhadap agama sedangkan akal adalah adalah perangkat dalam menghadapi kehidupan ini.

Kita akan memulai pembicaraan singkat ini dengan akal. Karena akal adalah sesuatu yang dimiliki semua orang. Akal merupakan bukti kemanusian seseorang. Ketiadaan akal berarti kehilangan jati diri kemanusian kita. Makanya, pakar-pakar logika mendeviniskan manusia adalah hewan yang berakal.
Pada dasarnya pengetahuan akal terbagi kepada tiga. Tidak ada empatnya apalagi lima. Tidak boleh mengecil menjadi dua yaitu, :
1.                   Apa yang diketahui akal secara jelas. Artinya kebenarannya merupakan kebenaran yang pasti. Tidak ada akal yang membantahnya. Contoh : Pengetahuan bahwa segala sesuatu tidak bisa ada sekaligus tidak ada secara bersamaan. Ataukah bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan sebuah kebaikan. Jujur merupakan kebajikan dan berbohong adalah dosa. Semua manusia, masyarakat, kebudayaan dan perdaban mengakui hal tersebut.
2.                   Apa yang diketahui manusia secara samar dan ragu-ragu. Dalam arti manusia berbeda tentang hal tersebut. Ada yang mengatakannya sebagai kebaikan dan yang lain menganggapnya sebagai sebuah kejahatan. Contoh, berjalan berduan bagi yang bukan mahram bagi sebahagian masyarakat adalah pelanggaran norma. Namun bagi yang lain, hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Atau misalnya minum minuman beralkohol. Ada yang menganggap sebagai sesuatu yang merusak kesehatan, sedangkan yang lain menyebutnya sebagai minuman penghangat badan. Contoh dalam bentuk ini sangat banyak. (Silahkan cari sendiri)
3.                   Apa yang tidak diketahui manusia sama sekali. Artinya akal manusia tidak mampu mengatahuinya dengan sendirinya. Contoh berita tentang kehidupan akhirat. Pengatahuan manusia tentangnya hanya berasal dari wahyu, bukan berdasar kepada pemikiran manusia.
seperti yang kita ketahui, wahyu adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya menuju kebenaran. sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran, maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin bertentangan.

. Oleh karena itu tidak ada satu pun agama wahyu yang mengatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan sebuah kejahatan. Atau jujur adalah perbuatan dosa sedangkan dusta adalah akhlak yang baik.

Untuk yang kedua, wahyu akan menghilangkan kesamaran dan keragu-raguan dengan menunjukan kebenaran. Ketika akal berbeda tentang sesuatu hal maka ikutilah apa yang disebutkan oleh wahyu, karena itu adalah kebenaran. Kebenaran wahyu tidak mengkin bertentangan dengan kebenaran akal. Orang berbeda tentang minuman beralkohol, apakah baik atau buruk? Maka apa yang disampaikan oleh wahyu, itulah yang benar. Maka ambillah kebenaran itu. dan buanglah yang salah.

Untuk yang ketiga, maka wahyu datang mengajar akal tentang hal tersebut. Karena akal tidak memiliki kemampuan untuk mencapainya. Oleh karena itu, apa saja yang disampaikan wahyu tentang hal ini adalah kebenaran. Akal tidak mungkin, tidak bisa dan tidak boleh membantahnya. Bagaimana mungkin kita dapat membantah berita tentang hari akhirat jika kita tidak bisa melakukan penelitian ke sana. Begitu juga tentang cara kita beribadah kepada Tuhan. Harus berdasakan kepada petunjuk wahyu. Karena akal tidak mampu mengetahui tentang cara beribadah yang diinginkan oleh Tuhan.

B.     PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : PELAKU DOSA BESAR

        Sebagai mana telah dijelaskan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul  adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni atatus pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar. Berikut ini adalah pandangan mereka.

A.    ALIRAN KHAWARIJ
        Ciri yang menonjol  dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini disamping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadits. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 44.
“ barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(Q.S. Al-Maidah [5]: 44)
Semua pelaku dosa besar ( murtabb al-kabira); menurut semua subsekte khawarij, kecuali najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah(agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azaqirah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan hal nya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang musyrik, tetapi hanya kafir. Namun, jika dilaksanakan terus, ia menjadi musyrik.
Walaupun secara umum subsekte aliran Khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut susekte Al-Muhakimat, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash dan Abu Musa AL-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir ini pun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam.
Lain hal nya dengan pandangan subsekte Azaqirah. Mereka menganggap kafir, tidak saja kepada orang-orang yang telah melakukan perbuatan hina, seperti membunuh, berzina, dan sebagainya, tetapi juga terhadap semua orang Islam yang tak sefaham dengan mereka. Bahkan, orang Islam yang sefaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Dengan kata lain, orang Azaqirah sendiri yang tinggal diluar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.
Pandangan yang berbeda dikemukakan subsekte An-Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga. Sementara itu, subsekte As-Surfiah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang kafir.
B.     ALIRAN MURJI’AH
Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda-beda pula.
Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan, subsekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Untuk memilih mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah subsekte Al-Jamiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu sajaatau dengan kata lain, ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani. Menurut mereka, Iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagai mana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. Di antara subsekte Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangan, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya.
C.     ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam di awali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar. Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasiq yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadi ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.

D.    ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah ( Ahl Al-Qiblah ) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi SAW. sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu,ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.

E.     ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa bertobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.

F.      ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum bertobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha.
G.    ANALISIS
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andaikata dimasukkan ke dalam neraka, ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akhirat ia akan di masukkan ke neraka dan kekal didalamnya. Mengenai hal ini, kita melihat bahwa Khawarij dan Mu’tazilah berada di barisan yang sama. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tegas di antara keduanya. Khawarij memandang status pelaku dosa besar sebagai kafir, bahkan musyrik. Oleh karena itu, ia mendapatkan siksaan serupa dengan yang diperoleh orang-orang kafir. Sementara itu, Mu’tazilah memandang status pelaku dosa besar sebagi fasik, yaitu suatu posisi netral di antara dua kutub; mukmin dan kafir. Oleh sebab itu, balasan yang diperolehnya kelak di akhirat tidak sama dengan orang mukmin dan juga tidak serupa dengan orang kafir. Pelaku dosa besar akan disiksa selama-lamanya di neraka paling atas dengan siksaan yang lebih ringan ketimbang siksaan yang diterima oleh orang kafir.
Penting dicatat pula bahwa perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika ditinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat diklasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh Khawarij dan Mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.
C.     PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : IMAN DAN KUFUR
Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SWT yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah, istri Rasulullah SAW. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliaran teologi islam, seperti yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, acap kali lebih dititik beratkan pada satu aspek saja dari dua term, yaitu iman atau kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya juga berarti kesimpulan temntang konsep kufur.
Menurut Hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :
1.      Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal)
2.      Amal, perbuatan baik atau patuh.
3.      Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.      Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya marifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati)

A.    ALIRAN KHAWARIJ
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis Khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah teoretis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangkal karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah, Khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “apakah Mu’awiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka, karena Ali dan Mu’awiyah, beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan semua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan di siksa di neraka selamanya.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah RasulNya. Tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Lain halnya dengan subsekte Khawarij yang sangat moderat. Yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan)., tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama). Siksaan yang bakal mereka terima diakhirat nanti adalah kekal didalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.

B.     ALIRAN MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka tantang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-jahmiyah, Ash-salihiyah, Al-yunusiyah, Asy-syimriyah, As-saubanuyah, An-najjariyah, Al-Kailaniyah, bin syabib dan pengikutnya Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-m-Marisiyah, dan Al-Karramiyah.  Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah Moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Untuk memilih mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu.
C.     Aliran Mu'tazilah
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Disini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Harun Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Pandangan Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang, menyatakan pendapatnya bahwa hal ini sarat dengan konsekuensi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).
Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula oleh Khawarij.



4)      Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, iman secara esensial adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qawl dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi Asy-Syahrastani menempatkan ketiga unsur iman yaitu tashdiq, qawl, dan amal pada posisinya masing-masing.
5)      Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al–Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al–Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
Iman adalah tashdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tashdiq dan ikrar.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.    
Menurut aliran Asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Menurut subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
PERBEDAAN ANTAR ALIRAN:
PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran asy’ariah dan maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
A.    PERBUATAN TUHAN
         Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.

1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut Al-jabar mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a.Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia. Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.Kewajiban mengirimkan rasul Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengtahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.Aliran Asy’ariah
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
3.Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
B.     PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
1.Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.

2.Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.

3.Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
4.Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya:“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
(Q.S.Ash-shaffat:96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya


PERBEDAAN ANTAR ALIRAN:
KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAN TUHAN
Masalah kehendak mutlak dan keadilan Tuhan merupakan bidang kajian penting dalam ilmu kalam. Kedua masalah ini berkaitan erat dengan paham Jabariyah dan Qadariyah.
Paham Jabariyah menempatkan segala yang maujud ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, dalam ketentuan Tuhan secara mutlak. Oleh sebab itu paham ini mengacu pada sikap fatalistik dan pre-destination. Sedangkan paham Qadariyah lebih menitikberatkan perhatiannya pada kehendak mutlak manusia ketimbang kemutlakan kekuasaan Tuhan. Menurut paham ini, kekuasaan Tuhan tidak mutlak semutlak‑mutlaknya karena manusia memiliki potensi dan kapasitas untuk melakukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karenanya paham ini mengacu pada sikap free will dan free act.

Pada gilirannya kedua masalah tersebut dikaji lebih detail oleh beberapa aliran ilmu kalam, yaitu aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang disebut terakhir ini sendiri berkembang menjadi dua kelompok besar, yakni Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand.
KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Masalah ini dibahas oleh aliran‑aliran tersebut di atas, yang secara berurutan adalah sebagai berikut:
A. Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat, bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia dalam menentukan kekuasaan dan perbuatan. (Nasution, 1986: 119)
Oleh sebab itu dalam pandangan Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum‑hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya kemutlakan kehendak Tuhan menjadi terbatas. (Yunan Yusuf, 1990: 74) Mereka berkeyakinan, bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. (Nasution, 1991: 105)
Dengan demikian aliran Mu’tazilah memandang, bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak Tuhan, bahkan Tuhan menciptakan manusia sekaligus menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia. (Makki, 1952:  26)
Mu’tazilah menguatkan pendapat mereka berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Tuhan, maka ia tidak akan dibebani kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al‑Quran, antara lain Q.S. Al‑Kahfi, 18: 29. (Nasution, 1986:  80)
Kebebasan manusia yang diberikan Tuhan baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlakNya. Demikian pula keadilan Tuhan membuat Tuhan sendiri terikat pada norma‑norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau dhalim. Dengan demikian dalam pandangan Mu’tazilah Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaanNya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. (Nasution, 1986: 119)
Jadi ketidakmutlakan kehendak Tuhan itu disebab‑kan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan sendiri dan adanya kewajiban‑kewajiban Tuhan kepada manusia serta adanya hukum alam atau sunnahtullah.
B. Asy’ariyah
Berpijak pada paham Jabariyah dan penggunaan akal yang tidak begitu besar maka Asy’ariyah berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak. Kehendak Tuhan baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan dan kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan shalah wa al‑ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu’jizat, semuanya itu berasal dari ketentuan Tuhan. Dialah yang menentukannya. Jika dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu yang wajib dan/atau mahal. (Makki, 1952: 7)
Dengan demikian aliran ini beranggapan, bahwa kehendak Tuhan itu adalah mutal semutlak‑mutlaknya.
Dalam hal ini Asy’ariyah memperkuat dengan dua dalil, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Secara aqli dinyatakan bahwa perbuatan Tuhan itu berasal dari qudrat dan iradatNya secara sempurna dan teralisasi secara mutlak. Sedangkan secara naqli adalah firman Allah Q.S. Ash‑Shaffat, 37: 96 dan Hadis Nabi. (Makki, 1952: 1)
C. Maturidiyah Bukhara
Paham mereka tentang kehendak Tuhan dekat dengan paham Asy’ariyah. Mereka beranggapan bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak. Tidak ada yang menghalangi kehendak Tuhan, karena selainNya tidak ada yang mempunyai kehendak. Tuhan mampu berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala‑galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak ada larangan‑larangan bagi Tuhan. (Al‑Jazari, 1192 H.: 127)
Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk berbuat jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi orang yang berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik atau jahat, adalah atas dasar kehendak-Nya semata.
D. Maturidiyah Samarkand
Dalam masalah kehendak mutlak Tuhan, aliran Maturidi Samarkand mengambil posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Hal‑hal yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak Tuhan, antara lain:
Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada  pada manusia.Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang‑wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia atas dirinya untuk berbuat baik atau jahat.Keadaan hukuman‑hukuman Tuhan, sebagai kata al‑Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi. (Nasution, 1986: 122)
Walaupun golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Tuhan dalam diri manusia. Tuhan masih juga ikut campur tangan dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang dikandungnya itu dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan memilih antara yang disukai dan yang tidak disukai oleh Tuhan. (Nasution, 1986: 123)
 KEADILAN TUHAN
Masalah keadilan Tuhan ini juga dibahas oleh aliran‑aliran tersebut di atas, yang secara rinci adalah:
A. Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah, sebagai yang diterangkan oleh Abd. al‑Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata‑kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban‑kewajibanNya terhadap manusia. (Yunan Yusuf, 1990: 66)
Dari pengertian ini dapat dinyatakan, bahwa konsep keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan manusia. Kalau pemikiran ini mengharuskan ketidakbolehan sifat dhalim dalam menghukum, memberi beban‑beban yang tidak terpikul dan upah pahala kepada orang yang tidak patuh, bagi Allah. Dengan demikian Mu’tazilah memandang, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban‑kewajiban yang ditentukan sendiri buat diriNya.
Ayat‑ayat Al‑Quran yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah di atas adalah ayat 47 surat Al‑Anbiya’, ayat 64 surat Yaasin, ayat 46 surat Fush‑shilat, ayat 40 surat An‑Nisa’ dan ayat 49 surat Al‑Kahfi. (Yunan Yusuf, 1990: 72)
B. Asy’ariyah
Keadilan menurut Asy’ariyah berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai kekuatan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Keadilan Tuhan mengandung arti, bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlak terhadap makhlukNya dan dapat berbuat sekehendak hatiNya dalam kerajaanNya. (Nasution, 1986: 125)
Dalam hal ini tidak ditemukan secara khusus ayat‑ayat yang dijadikan dalil oleh Asyariyah. Sebab paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy‑ariyah lebih menitikberatkan pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat‑ayat yang sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat‑ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kedudukan dan kehendak mutlak Tuhan. (Yunan Yusuf, 1990: 33)
C. Maturidiyah Bukhara
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al‑Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri. (Nasution, 1986:  124)
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.
D. Maturidiyah Samarkand
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba‑hambaNya dan juga tak akan mengingkari janji‑janjiNya yang telah disampaikan kepada manusia. (Yunan Yusuf, 1990: 82).                Aliran Maturidiyah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang dekat dengan aliran Mu’tazilah ketimbang aliran Asy’ariyah. Tetapi tendensi golongan ini untuk meninjau wujud dari kepentingan manusia melebihi dari tendensi kaum Mu’tazilah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang diberikan alairan Samarkand kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada kekuasaan Tuhan, lebih kecil dari yang diberikan kaum Mu’tazilah. (Nasution, 1986:  24)
Abu Mansur al‑Maturidi berdalil atas pandangan di atas dengan firman Allah Q.S. Al-An’am, 6: 160 Q.S. Ali ‘Imran, 3: 9)
Ayat pertama ditafsirkan al‑Maturidi dengan mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang, kecuali dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah tidak menyalahi janjiNya serta menganiaya hambaNya, lanjut al‑Maturidi dalam memberi tafsiran ayat yang kedua. (Yunan Yusuf, 1990: 10)

Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran Mu’tazilah sebagai kehendak yang tidak mutlak semutlak‑mutlaknya namun dibatasi oleh free will dan free act manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada manusia dan kausalitas sunnatullah. Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal searah dengan yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh aliran Asy’ariyah, kehendak Tuhan ini dipahami sebagai kehendak mutlak dan absolut dalam semua hal. Konsep pemahaman tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Bukhara.
Keadilan Tuhan oleh aliran Mu’tazilah dipahami sebagai sesuatu yang terpusat pada kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat mengabaikan pada kewajiban‑kewajiban terhadap manusia. Sedangkan oleh aliran Asy’ariyah dipahami sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Interpretasinya tetap berorientasi pada absolutisme kehendak dan kekuasaan Allah. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan pemahaman Asy’ariyah. Sedang aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan pengertian keadilan Tuhan sebagai lawan perbuatan zalim.





DAFTAR PUSTAKA
Al‑Jazairi, Abdurrahman, Taudhih al‑’Aqaid fi ‘Ilmi at-Tauhid, Kairo: Maktabah al‑Hadharah asy‑Syarqiyyah, 1192.
Nasution, Harun., Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
——, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
——, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Makki, Husein Abdurrahman., Mudzakarah al‑Tauhid, Mesir: t.p., 1952.
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al‑Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.