A. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : WAHYU DAN AKAL
Pembicaraan tentang wahyu dan akal adalah
topik tua yang masih sering tampil. Hangat untuk diperbincangkan. Filosof,
cendikiawan, ulama, mahasiswa dan masih banyak lagi yang lain sering membahas
masalah tersebut. Pemahaman kita terhadap hubungan keduanya akan memiliki
pengaruh yang besar bagi pandangan kita terhadap kehidupan. Karena wahyu adalah
refresantasi terhadap agama sedangkan akal adalah adalah perangkat dalam
menghadapi kehidupan ini.
Kita akan memulai pembicaraan singkat ini
dengan akal. Karena akal adalah sesuatu yang dimiliki semua orang. Akal
merupakan bukti kemanusian seseorang. Ketiadaan akal berarti kehilangan jati
diri kemanusian kita. Makanya, pakar-pakar logika mendeviniskan manusia adalah
hewan yang berakal.
Pada dasarnya pengetahuan akal terbagi kepada tiga. Tidak ada empatnya apalagi lima. Tidak boleh mengecil menjadi dua yaitu, :
Pada dasarnya pengetahuan akal terbagi kepada tiga. Tidak ada empatnya apalagi lima. Tidak boleh mengecil menjadi dua yaitu, :
1.
Apa yang diketahui akal secara
jelas. Artinya kebenarannya merupakan kebenaran yang pasti. Tidak ada akal yang
membantahnya. Contoh : Pengetahuan bahwa segala sesuatu tidak bisa ada
sekaligus tidak ada secara bersamaan. Ataukah bahwa berbuat baik kepada orang tua
merupakan sebuah kebaikan. Jujur merupakan kebajikan dan berbohong adalah dosa.
Semua manusia, masyarakat, kebudayaan dan perdaban mengakui hal tersebut.
2.
Apa yang diketahui manusia
secara samar dan ragu-ragu. Dalam arti manusia berbeda tentang hal tersebut.
Ada yang mengatakannya sebagai kebaikan dan yang lain menganggapnya sebagai
sebuah kejahatan. Contoh, berjalan berduan bagi yang bukan mahram bagi
sebahagian masyarakat adalah pelanggaran norma. Namun bagi yang lain, hal
tersebut merupakan suatu kewajaran. Atau misalnya minum minuman beralkohol. Ada
yang menganggap sebagai sesuatu yang merusak kesehatan, sedangkan yang lain
menyebutnya sebagai minuman penghangat badan. Contoh dalam bentuk ini sangat
banyak. (Silahkan cari sendiri)
3.
Apa yang tidak diketahui
manusia sama sekali. Artinya akal manusia tidak mampu mengatahuinya dengan
sendirinya. Contoh berita tentang kehidupan akhirat. Pengatahuan manusia
tentangnya hanya berasal dari wahyu, bukan berdasar kepada pemikiran manusia.
seperti yang kita ketahui, wahyu adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya menuju kebenaran. sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran, maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin bertentangan.
seperti yang kita ketahui, wahyu adalah petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia untuk membimbingnya menuju kebenaran. sedangkan akal adalah sesuatu yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk digunakan berpikir menuju kebenaran. Karena keduanya berasal dari satu Tuhan yang sama untuk satu tujuan yang sama pula yaitu kebenaran, maka mustahil keduanya bertentangan. Sebab dua buah kebenaran tidak mungkin bertentangan.
. Oleh karena itu tidak ada satu pun agama
wahyu yang mengatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan sebuah
kejahatan. Atau jujur adalah perbuatan dosa sedangkan dusta adalah akhlak yang
baik.
Untuk yang kedua, wahyu akan menghilangkan
kesamaran dan keragu-raguan dengan menunjukan kebenaran. Ketika akal berbeda
tentang sesuatu hal maka ikutilah apa yang disebutkan oleh wahyu, karena itu
adalah kebenaran. Kebenaran wahyu tidak mengkin bertentangan dengan kebenaran
akal. Orang berbeda tentang minuman beralkohol, apakah baik atau buruk? Maka
apa yang disampaikan oleh wahyu, itulah yang benar. Maka ambillah kebenaran
itu. dan buanglah yang salah.
Untuk yang ketiga, maka wahyu datang mengajar
akal tentang hal tersebut. Karena akal tidak memiliki kemampuan untuk
mencapainya. Oleh karena itu, apa saja yang disampaikan wahyu tentang hal ini
adalah kebenaran. Akal tidak mungkin, tidak bisa dan tidak boleh membantahnya.
Bagaimana mungkin kita dapat membantah berita tentang hari akhirat jika kita
tidak bisa melakukan penelitian ke sana. Begitu juga tentang cara kita
beribadah kepada Tuhan. Harus berdasakan kepada petunjuk wahyu. Karena akal
tidak mampu mengetahui tentang cara beribadah yang diinginkan oleh Tuhan.
B.
PERBANDINGAN
ANTAR ALIRAN : PELAKU DOSA BESAR
Sebagai mana telah dijelaskan bahwa
persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti
siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi
yang lebih umum, yakni atatus pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang
digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status
pelaku dosa besar. Berikut ini adalah pandangan mereka.
A. ALIRAN KHAWARIJ
Ciri
yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini disamping didukung oleh watak
kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar
pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Qur’an dan Hadits. Tak heran kalau aliran
ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka
memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari
adalah kafir, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 44.
“
barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(Q.S. Al-Maidah [5]: 44)
Semua pelaku dosa besar ( murtabb
al-kabira); menurut semua subsekte khawarij,
kecuali najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte
khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah,
menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik. Mereka
memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka.
Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah(agama),
dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Mereka kekal di neraka bersama
orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda
dari Azaqirah. Mereka menganggap
musyrik kepada siapapun yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil.
Akan hal nya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya
tidak dipandang musyrik, tetapi hanya kafir. Namun, jika dilaksanakan terus, ia
menjadi musyrik.
Walaupun secara umum subsekte
aliran Khawarij sependapat bahwa
pelaku dosa besar dianggap kafir, masing masing berbeda pendapat tentang pelaku
dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut susekte Al-Muhakimat, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantarnya (Amr bin Al-Ash
dan Abu Musa AL-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir ini pun
mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berbuat
zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya
menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam.
Lain hal nya dengan pandangan
subsekte Azaqirah. Mereka menganggap
kafir, tidak saja kepada orang-orang yang telah melakukan perbuatan hina,
seperti membunuh, berzina, dan sebagainya, tetapi juga terhadap semua orang
Islam yang tak sefaham dengan mereka. Bahkan, orang Islam yang sefaham dengan
mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang
kafir, bahkan musyrik. Dengan kata lain, orang Azaqirah sendiri yang tinggal diluar lingkungan mereka dan tidak
mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.
Pandangan yang berbeda dikemukakan
subsekte An-Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir
dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan
golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan
siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga. Sementara itu,
subsekte As-Surfiah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada
sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat
dosa kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan
dosa kategori kedua dipandang kafir.
B. ALIRAN MURJI’AH
Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa
besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka.
Tiap-tiap sekte Murji’ah berbeda
pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap
subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda-beda pula.
Secara garis besar, sebagaimana
telah dijelaskan, subsekte Khawarij
dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim
dan moderat. Untuk memilih mana
subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan
perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada dalam kalbu. Oleh
karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah
agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya
masih sempurna di mata Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas
adalah subsekte Al-Jamiyah, As-Salihiyah,
dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan
bahwa iman adalah tasdiq secara kalbu
sajaatau dengan kata lain, ma’rifah
(mengetahui) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan
maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seorang telah beriman dalam hatinya, ia
dipandang tetap sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku
seperti Yahudi atau Nasrani. Menurut mereka, Iqrar dan amal bukanlah
bagian dari iman. Kredo kelompok Murji’ah
ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan
keimanan sebagai mana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan
bahwa Murji’ah ekstrim memandang
pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di
dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan
neraka. Di antara subsekte Murji’ah
yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangan,
pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh
berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat
lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa
yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka,
karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya.
C. ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam
pemikiran teologi Islam di awali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua
aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; apakah
masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaannya, bila Khawarij mengafirkan
pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar.
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa
besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat
terkenal, yaitu Al-Manzilah Bain
Al-Manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika pelakunya
meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka
selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari
pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah,
seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasiq yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih
konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut
pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara
tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala
ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah
menjadi ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
D. ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar,
agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang
yang sujud ke Baitullah ( Ahl Al-Qiblah )
walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka
masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki,
sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya
dengan anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan tidak meyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak
bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka
menurut Al-Asy’ari, hal itu
bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja
mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi SAW.
sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya
siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu,ia
tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah
penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari
paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi
yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan
para pelaku dosa besar.
E. ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand
maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di
akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa
bertobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak
Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan
memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.
Berkaitan dengan persoalan ini,
Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah,
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik.
Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang
kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu,
amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah
atau mengurangi sifatnya saja.
F. ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya
bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum
bertobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha,
salah seorang pemimpin Mu’tazilah,
mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid
pernah belajar kepada Wasil bin Atha.
G. ANALISIS
Aliran yang berpandangan bahwa
pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andaikata dimasukkan ke
dalam neraka, ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang berpendapat
bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akhirat ia akan
di masukkan ke neraka dan kekal didalamnya. Mengenai hal ini, kita melihat
bahwa Khawarij dan Mu’tazilah berada di barisan yang sama.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tegas di antara keduanya. Khawarij memandang status pelaku dosa
besar sebagai kafir, bahkan musyrik. Oleh karena itu, ia mendapatkan siksaan
serupa dengan yang diperoleh orang-orang kafir. Sementara itu, Mu’tazilah memandang status pelaku dosa
besar sebagi fasik, yaitu suatu posisi netral di antara dua kutub; mukmin dan
kafir. Oleh sebab itu, balasan yang diperolehnya kelak di akhirat tidak sama
dengan orang mukmin dan juga tidak serupa dengan orang kafir. Pelaku dosa besar
akan disiksa selama-lamanya di neraka paling atas dengan siksaan yang lebih
ringan ketimbang siksaan yang diterima oleh orang kafir.
Penting dicatat pula bahwa
perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika ditinjau dari sudut
pandang wa’d wa’id, dapat
diklasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat.
Kubu radikal diwakili oleh Khawarij
dan Mu’tazilah, sementara sisanya
merupakan kubu moderat.
C. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : IMAN DAN
KUFUR
Agenda persoalan yang pertama-tama
timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu
dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij
tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SWT yang dipandang telah
berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
dan Aisyah, istri Rasulullah SAW. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa
setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Perbincangan konsep iman dan kufur
menurut tiap-tiap aliaran teologi islam, seperti yang terlihat dari berbagai
literatur ilmu kalam, acap kali lebih dititik beratkan pada satu aspek saja
dari dua term, yaitu iman atau kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan
tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya juga berarti kesimpulan temntang
konsep kufur.
Menurut Hasan Hanafi, ada empat
istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam
membicarakan konsep iman, yaitu :
1. Ma’rifah
bi al-aql, (mengetahui dengan akal)
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar,
pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq,
membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya marifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati)
A. ALIRAN KHAWARIJ
Sebagai kelompok yang lahir dari
peristiwa politik, pendirian teologis Khawarij
terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi
politis ketimbang ilmiah teoretis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangkal
karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah, Khawarij mula-mula memunculkan
persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir
atau tetap mukmin?” “apakah Mu’awiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap
mukmin?” Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari
teologi mereka. Menurut mereka, karena Ali dan Mu’awiyah, beserta para
pendukungnya telah melakukan tahkim
kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dan semua pelaku dosa
besar (mutabb al-kabirah), menurut
semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan di siksa di
neraka selamanya.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya
kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian
dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya
masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan
dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah RasulNya. Tetapi tidak melaksanakan
kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Lain halnya dengan subsekte
Khawarij yang sangat moderat. Yaitu ibadiyah.
Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan).,
tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama). Siksaan yang bakal
mereka terima diakhirat nanti adalah kekal didalam neraka bersama orang-orang
kafir lainnya.
B. ALIRAN MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka
tantang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi
Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-jahmiyah,
Ash-salihiyah, Al-yunusiyah, Asy-syimriyah, As-saubanuyah, An-najjariyah,
Al-Kailaniyah, bin syabib dan pengikutnya Abu Hanifah dan pengikutnya,
At-Tumaniyah, Al-m-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah
membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah Moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Untuk memilih mana subsekte yang
ekstrim atau moderat, Harun Nasution menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu.
C.
Aliran Mu'tazilah
Seluruh
pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur
terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah
tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah
(pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman karena
pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Disini
terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau
penggunaan akal bagi keimanan. Harun Nasution menjelaskan bahwa menurut
Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan
segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Pandangan
Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal
Jepang, menyatakan pendapatnya bahwa hal ini sarat dengan konsekuensi yang
cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim (teolog) saja yang
benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang
mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar
beriman (mukmin).
Iman
adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu,
keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut
pula oleh Khawarij.
4) Aliran
Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, iman secara esensial adalah
tashdiq bil al janan (membenarkan dengan
kalbu). Sedangkan qawl dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya
dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara
ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi
Asy-Syahrastani menempatkan
ketiga unsur iman yaitu tashdiq, qawl, dan amal pada posisinya masing-masing.
5)
Maturidiyah
Dalam
masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.
Maturidiyah
Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al–Bazdawi menyatakan bahwa iman
tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang
dilakukan. Al–Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa
ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika
bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan
berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru
menjadi bertambah.
Iman adalah tashdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lidah,
dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam
hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah.
Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang
penting tashdiq dan ikrar.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak
ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran
ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum
asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan
tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas
dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang
dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan
sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang
buruk dan mengerjakan yang baik.
Menurut aliran Asy’ariyah sendiri tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa
ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Menurut subsekte Murji’ah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya
masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut
maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta
tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini
lebih dekat dengan Mu'tazilah.
PERBEDAAN ANTAR ALIRAN:
PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN
MANUSIA
Persoalan
kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah
masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai
buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran asy’ariah dan maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran asy’ariah dan maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
A.
PERBUATAN TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam
berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang
sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa
perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini
tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak
melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia
mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas
dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang
dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat
Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi
Abd Al-jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi
petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan
buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa
seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu
ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut
Al-jabar mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita
bohong.
Dasar
pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar
dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban
terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal
yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik,
bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah
memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a.Kewajiban
tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia. Memberi beban diluar kemampuan
manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan
terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan
akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada
manusia.
b.Kewajiban
mengirimkan rasul Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun,
mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu
kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat
mengtahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib.
Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia
dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup
baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.Kewajiban
menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.Aliran
Asy’ariah
Menurut
aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia
(ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak
dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran
asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat
sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali,
perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang
mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
3.Aliran
Maturidiyah
Mengenai
perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand
dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan
batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa
perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian
tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan
pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai
faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh
Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang
yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan
faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
B.
PERBUATAN MANUSIA
Masalah
perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
1.Aliran
Jabariyah
Dalam
pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara
Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa
segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang
tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai
pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.Aliran
Qadariyah
Aliran
Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat
jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat
pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung
pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya :
“katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan
barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.
3.Aliran
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena
itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh
Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan
tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada
diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan
dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
4.Aliran
Asy’ariyah
Dalam
faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak
kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini
lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan
dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan),
segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga
menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan
perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap
pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari
mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya:“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat”
(Q.S.Ash-shaffat:96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
(Q.S.Ash-shaffat:96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.Aliran
Maturidiyah
Mengenai
perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham
mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya.
Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah
kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti
kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak
diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang
demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham
Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas
manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya
PERBEDAAN ANTAR ALIRAN:
KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAN TUHAN
Masalah kehendak mutlak dan keadilan Tuhan
merupakan bidang kajian penting dalam ilmu kalam. Kedua masalah ini berkaitan
erat dengan paham Jabariyah dan Qadariyah.
Paham Jabariyah menempatkan segala yang maujud
ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, dalam ketentuan Tuhan secara
mutlak. Oleh sebab itu paham ini mengacu pada sikap fatalistik dan
pre-destination. Sedangkan paham Qadariyah lebih menitikberatkan perhatiannya
pada kehendak mutlak manusia ketimbang kemutlakan kekuasaan Tuhan. Menurut
paham ini, kekuasaan Tuhan tidak mutlak semutlak‑mutlaknya karena manusia
memiliki potensi dan kapasitas untuk melakukan kehendak dan perbuatannya. Oleh
karenanya paham ini mengacu pada sikap free will dan free act.
Pada gilirannya kedua masalah tersebut dikaji
lebih detail oleh beberapa aliran ilmu kalam, yaitu aliran Mu’tazilah,
Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang disebut terakhir ini sendiri berkembang
menjadi dua kelompok besar, yakni Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah
Samarkand.
KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Masalah ini dibahas oleh aliran‑aliran tersebut di atas, yang secara
berurutan adalah sebagai berikut:
A. Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat, bahwa kekuasaan Tuhan
sebenarnya tidak mutlak lagi. Karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah
diberikan Tuhan kepada manusia dalam menentukan kekuasaan dan perbuatan.
(Nasution, 1986: 119)
Oleh sebab itu dalam pandangan Mu’tazilah,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum‑hukum yang
tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya kemutlakan kehendak Tuhan
menjadi terbatas. (Yunan Yusuf, 1990: 74) Mereka berkeyakinan, bahwa Tuhan
telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. (Nasution, 1991: 105)
Dengan demikian aliran Mu’tazilah memandang,
bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya
dengan kehendak Tuhan, bahkan Tuhan menciptakan manusia sekaligus menciptakan
kemampuan dan kehendak pada diri manusia. (Makki, 1952: 26)
Mu’tazilah menguatkan pendapat mereka
berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa
seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Tuhan, maka ia tidak akan dibebani
kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al‑Quran,
antara lain Q.S. Al‑Kahfi, 18: 29. (Nasution, 1986: 80)
Kebebasan manusia yang diberikan Tuhan baru
bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlakNya. Demikian pula
keadilan Tuhan membuat Tuhan sendiri terikat pada norma‑norma keadilan yang
bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau dhalim. Dengan demikian
dalam pandangan Mu’tazilah Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaanNya
secara mutlak, tetapi sudah terbatas. (Nasution, 1986: 119)
Jadi ketidakmutlakan kehendak Tuhan itu
disebab‑kan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan
sendiri dan adanya kewajiban‑kewajiban Tuhan kepada manusia serta adanya hukum
alam atau sunnahtullah.
B. Asy’ariyah
Berpijak pada paham Jabariyah dan penggunaan
akal yang tidak begitu besar maka Asy’ariyah berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai
kehendak mutlak. Kehendak Tuhan baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan
dan kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan
shalah wa al‑ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu’jizat,
semuanya itu berasal dari ketentuan Tuhan. Dialah yang menentukannya. Jika
dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi. Tidak
ada sesuatu yang wajib dan/atau mahal. (Makki, 1952: 7)
Dengan demikian aliran ini beranggapan, bahwa
kehendak Tuhan itu adalah mutal semutlak‑mutlaknya.
Dalam hal ini Asy’ariyah memperkuat dengan dua
dalil, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Secara aqli dinyatakan bahwa perbuatan
Tuhan itu berasal dari qudrat dan iradatNya secara sempurna dan teralisasi
secara mutlak. Sedangkan secara naqli adalah firman Allah Q.S. Ash‑Shaffat, 37:
96 dan Hadis Nabi. (Makki, 1952: 1)
C. Maturidiyah Bukhara
Paham mereka tentang kehendak Tuhan dekat dengan paham Asy’ariyah.
Mereka beranggapan bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak. Tidak ada yang
menghalangi kehendak Tuhan, karena selainNya tidak ada yang mempunyai kehendak.
Tuhan mampu berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala‑galanya
menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan
tidak ada larangan‑larangan bagi Tuhan. (Al‑Jazari, 1192 H.: 127)
Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Tuhan
untuk berbuat jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi
orang yang berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik atau jahat, adalah
atas dasar kehendak-Nya semata.
D. Maturidiyah Samarkand
Dalam masalah kehendak mutlak Tuhan, aliran
Maturidi Samarkand mengambil posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan
golongan Asy’ariyah. Hal‑hal yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak
Tuhan, antara lain:
Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang
menurut pendapat mereka ada pada manusia.Keadaan Tuhan menjatuhkan
hukuman bukan sewenang‑wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia atas
dirinya untuk berbuat baik atau jahat.Keadaan hukuman‑hukuman Tuhan, sebagai
kata al‑Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi. (Nasution, 1986: 122)
Walaupun golongan ini mengidentifikasikan
adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia, bukan berarti sama sekali
menafikan kehendak Tuhan dalam diri manusia. Tuhan masih juga ikut campur
tangan dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang
terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang dikandungnya itu
dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih yang baik dan yang
buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan
memilih antara yang disukai dan yang tidak disukai oleh Tuhan. (Nasution, 1986:
123)
KEADILAN TUHAN
Masalah keadilan Tuhan ini juga dibahas oleh aliran‑aliran tersebut di
atas, yang secara rinci adalah:
A. Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah, sebagai yang diterangkan oleh
Abd. al‑Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan
memberi seseorang akan haknya. Kata‑kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia
tidak dapat mengabaikan kewajiban‑kewajibanNya terhadap manusia. (Yunan Yusuf,
1990: 66)
Dari pengertian ini dapat dinyatakan, bahwa
konsep keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan
manusia. Kalau pemikiran ini mengharuskan ketidakbolehan sifat dhalim dalam
menghukum, memberi beban‑beban yang tidak terpikul dan upah pahala kepada orang
yang tidak patuh, bagi Allah. Dengan demikian Mu’tazilah memandang, bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban‑kewajiban yang ditentukan sendiri buat diriNya.
Ayat‑ayat Al‑Quran yang dijadikan sandaran
dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah di atas adalah ayat 47 surat Al‑Anbiya’,
ayat 64 surat Yaasin, ayat 46 surat Fush‑shilat, ayat 40 surat An‑Nisa’ dan
ayat 49 surat Al‑Kahfi. (Yunan Yusuf, 1990: 72)
B. Asy’ariyah
Keadilan menurut Asy’ariyah berarti
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai
kekuatan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai
dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Keadilan Tuhan mengandung arti, bahwa
Tuhan mempunyai kekuatan mutlak terhadap makhlukNya dan dapat berbuat
sekehendak hatiNya dalam kerajaanNya. (Nasution, 1986: 125)
Dalam hal ini tidak ditemukan secara khusus
ayat‑ayat yang dijadikan dalil oleh Asyariyah. Sebab paham keadilan Tuhan dalam
pandangan Asy‑ariyah lebih menitikberatkan pada makna kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, sehingga ayat‑ayat yang sering dipakai untuk menopang paham
keadilan Tuhan ini adalah ayat‑ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat
pandangan tentang kedudukan dan kehendak mutlak Tuhan. (Yunan Yusuf, 1990: 33)
C. Maturidiyah Bukhara
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa
keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Secara jelas Al‑Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak
mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya
sendiri. (Nasution, 1986: 124)
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah
Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran
Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.
D. Maturidiyah Samarkand
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi
makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap
manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang
seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba‑hambaNya dan
juga tak akan mengingkari janji‑janjiNya yang telah disampaikan kepada manusia.
(Yunan Yusuf, 1990:
82).
Aliran Maturidiyah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free
act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai
posisi yang dekat dengan aliran Mu’tazilah ketimbang aliran Asy’ariyah. Tetapi
tendensi golongan ini untuk meninjau wujud dari kepentingan manusia melebihi
dari tendensi kaum Mu’tazilah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kekuatan
yang diberikan alairan Samarkand kepada akal serta batasan yang mereka berikan
kepada kekuasaan Tuhan, lebih kecil dari yang diberikan kaum Mu’tazilah.
(Nasution, 1986: 24)
Abu Mansur al‑Maturidi berdalil atas pandangan
di atas dengan firman Allah Q.S. Al-An’am, 6: 160 Q.S. Ali ‘Imran, 3: 9)
Ayat pertama ditafsirkan al‑Maturidi dengan
mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang, kecuali dengan
balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah tidak menyalahi
janjiNya serta menganiaya hambaNya, lanjut al‑Maturidi dalam memberi tafsiran
ayat yang kedua. (Yunan Yusuf, 1990: 10)
Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran Mu’tazilah
sebagai kehendak yang tidak mutlak semutlak‑mutlaknya namun dibatasi oleh free
will dan free act manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada manusia dan
kausalitas sunnatullah. Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal searah
dengan yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh
aliran Asy’ariyah, kehendak Tuhan ini dipahami sebagai kehendak mutlak dan
absolut dalam semua hal. Konsep pemahaman tersebut tidak jauh berbeda dengan
apa yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Bukhara.
Keadilan Tuhan oleh aliran Mu’tazilah dipahami
sebagai sesuatu yang terpusat pada kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat
mengabaikan pada kewajiban‑kewajiban terhadap manusia. Sedangkan oleh aliran
Asy’ariyah dipahami sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Interpretasinya
tetap berorientasi pada absolutisme kehendak dan kekuasaan Allah. Aliran
Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan pemahaman Asy’ariyah. Sedang
aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan pengertian keadilan Tuhan sebagai
lawan perbuatan zalim.
DAFTAR
PUSTAKA
Al‑Jazairi, Abdurrahman, Taudhih al‑’Aqaid fi ‘Ilmi at-Tauhid, Kairo:
Maktabah al‑Hadharah asy‑Syarqiyyah, 1192.
Nasution,
Harun., Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
——, Akal
dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
——,
Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Makki,
Husein Abdurrahman., Mudzakarah al‑Tauhid, Mesir: t.p., 1952.
Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al‑Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.