FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEPRIBADIAN
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Psikologi”
Oleh
:
Moh. Fajar Husin (D01211060)
Muhammad Badruttamam (D01211061)
Moh. Sofyan Syauqi (D01211062)
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
kepribadian individu dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor
hereditas dan lingkungan. Faktor hereditas yang mempengaruhi kepribadian antara
lain : bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat yang diturunkan oleh orang
tua. Adapun faktor lingkungan antara lain : lingkungan rumah, sekolah dan
masyarakat. Disamping itu, meskipun kepribadian seseorang itu relatif
konstan., kenyataannya
sering ditemukan perubahan kepribadian. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh
fakor penggangguan fisik dan lingkungan.
Keluarga
dipandang sebagai penentu utama penbentukan kepribadian anak. Alasannya adalah
(1) keluarga adalah kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak
hanya menghabiskan waktunya hanya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan
“ signifiakan people” bagi penbentukan kepribadian anak.
Di
samping itu, keluarga juga dipandang sebagai lembaga yang dapat memenuhi
kebutuhan insan, terutama bagi pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan
perawatan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik
kebutuhan fisik-biologis, maupun kebutuhan sosio-psikologisnya. Apalagi anak
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka anak cenderung berkembang
menjadi seorang pribadi yang sehat.
Perlakuan
orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan
yang diberikan kepada anak, baik nilai agama maupun sosial budaya merupakan
faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak untuk menjadi pribadi dan menjadi
masyarakat yang sehat dan produktif.
Suasana
keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak dapat
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, yaitu suasana
yang memberikan kasih sayang, perhatian dan bimbingan dalam agama, maka
perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif, sehat. Sedangkan
perkembangan anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua
bersikap keras kepada anak, atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama, maka
perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distoris atau mengalami
kelainan dalam penyesuaian dirinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Yang Mempengaruhi
Kepribadian
Secara garis besar ada dua faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu faktor hereditas (genetika) dan faktor lingkungan (environment).
1. Faktor Genetika
(Pembawaan)
Pada masa konsepsi, seluruh bawaan hereditas individu
dibentuk dari 23 kromosom dari ibu, dan 23 kromosom dari ayah. Dalam 46
kromosom tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat fisik dan
psikis individu atau yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal ini, tidak ada
seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi hereditas tersebut.
Pengaruh gen terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara
langsung, karena yang dipengaruhi gen secara tidak secara langsung adalah (1)
kualitas sistem syaraf, (2) keseimbangan biokoimia tubuh, dan (3) struktur
tubuh.
Lebih lanjut dapat dikemukakan, bahwa fungsi hereditas dalam
kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah (1) sebagai sumber bahan
mentah kepribadian seperti fisik, intelegensi, dan temperamen (2) membatasi perkembangan
kepribadian dan mempengaruhi keunikan kepribadian.
Dalam kaitan ini Cattel dkk., mengemukakan bahwa “kemampuan
belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren
dalam organisme individu itu sendiri”. Misalnya kapasitas fisik (perawakan,
energy, kekuatan, dan kemenarikannya), dan kapasitas intelegtual (cerdas,
normal, atau terbelakang). Meskipun begitu batas-batas perkembangan
kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Contohnya: seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus,
mungkin akan mengembangkan “self concept”
yang tidak nyaman, jika dia
berkembang dalam kehidupan sosial
yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik, dan merendahkan
keberhasilan dalam bidang lain yang diperolehnya. Sama halnya dengan wanita
yang wajahnya kurang, dia akan merasa rendah diri apabila berada dalam
lingkungan yang sangat menghargai wanita dari segi kecantikan fisiknya.
Ilustrasi diatas menunjukkan, bahwa hereditas sangat
mempengaruhi “konsep diri” individu sebagai dasar sebagai individualitasnya,
sehingga tidak ada orang yang
mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, meskipun kembar identik.
Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi temperamen :
emosionalitas, aktivitas, agresivitas, dan reaktivitas bersumber dari plasma benih (gen) demikian halnya dengan
intelegensi.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hereditas terhadap
kepribadian, telah banyak para ahli yang melakukan penelitian dengan
menggunakan metode-metode tertentu. Dalam kaitan ini, Pervin (1970)
mengemukakan penelitian-penelitian tersebut.
a.
Metode Sejarah (Riwayat)
Keluarga
Galton (1870) telah mencoba meneliti kegeniusan yang dikaitkan dengan
sejarah keluarga. Temuan penelitiannya manunjukkan bahwa kegeniusan itu berkaitan erat dengan keluarga.
Temuan ini bukti yang mendukung teori hereditas tentang kegeniusan individu.
b.
Metode Selektivitas
Keturunan
Tryon (1940) menggunakan pendekatan ini dengan memilih tikus-tikus yang
pintar, cerdas “bright”, dengan yang
bodoh “dull”. Ketika tikus-tikus dari
kedua kelompok tersebut dikawinkan, ternyata keturunannya mempunyai tingkat
kecerdasan yang berdistribusi normal.
c.
Penelitian terhadap Anak
Kembar
Newman, Freeman, dan Halzinger (1937) telah meneliti kontribusi hereditas
yang sama terhadap tinggi dan berat badan, kecerdasan dan kepribadian. Mereka menempatkan
19 pasangan kembar identik dalam pemeliharaan yang terpisah, 50 pasangan kembar
identik dalam pemeliharaan yang sama, dan 50 pasangan kembar “fraternal” dalam pemeliharaan yang sama
juga.
Hasilnya menunjukkan bahwa kembar identik yang dipelihara terpisah
memiliki kesamaan satu sama lainnya dalam tinggi dan berat badan, serta
kecerdasannya. Demikian juga kembar identik yang dipelihara bersama-sama,
ternyata lebih mempunyai kesamaan dari pada kembar “faternal”
d.
Keragaman Konstitusi
(Postur) Tubuh
Hippocrates menyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan bardasarkan
cairan-cairan tubuhnya. Kretsvhmer telah mengklasifikasikan postur tubuh
individu pada tiga tipe utama, dan satu tipe campuran. Pengklasifikasian ini
didasarkan pada penelitiannya terhadap 260 orang yang dirawatnya. Berikut ini
adalah tipe pengklasifian tubuh menurut Kretschmer.
1)
Tipe Piknis (Stenis): pendek, gemuk, perut besar, dada dan bahunya
bulat.
2)
Tipe Asthenis (Leptoshom): tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu
sempit.
3)
Tipe Atletis: postur tubuhnya harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat,
otot kuat).
4)
Tipe Displastis: tipe penyimpangan dari tiga bentuk di atas.
Tipe-tipe ini berkaitan dengan: (1) gangguan mental, seperti tipe piknis
berhubungan dengan manik depresif, dan asthenis. (2) karaktritis individu yang
normal, seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat bersahabat dan tenang,
sedangkan asthenis bersifat serius, tenang dan senang
menyendiri.[1]
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepribadian diantaranya
keluarga, kebudayaan, dan sekolah.
a.
Keluarga
Keluarga dipandang sebagai penentu utama dalam pembentukan kepribadian
anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi
anak, (2) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3)
para anggota keluarga merupakan “significant
people” bagi pembentukan kepribadian anak.
Baldwin dkk. (1945), telah melakukan penelitian tentang pengaruh pola
asuh orang tua terhadap kepribadian anak. Pola asuh orang tua itu ternyata ada yang demokratis dan juga
authoritarian. Orang tua yang demokratis ditandai dengan prilaku (1)
menciptakan iklim kebebasan, (2) bersikap respek terhadap anak, (3) objektif,
dan (4) mengambil keputusan secara
rasional.
Anak yang dikembangkan dalam iklim demokratis cenderung memiliki
cirri-ciri kepribadian: labih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri, dan lebih
konstruktif dibandingkan dengan anak yang dikembangkan dalam iklim authoritarian.
b.
Kebudayaan
Kluckhohn berpendapat bahwa kebudayaan meregulasi (mengatur) kehidupan
kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak disadari.
Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang
telah dibuat orang lain untuk kita.
Sehubungan dengan pentingnya kebudayaan sebagai faktor penentu
kepribadian, muncul pertanyaan: Bagaimana tipe dasar kepribadian masyarakat itu
terjadi? Dalam hal ini Linton (1945) mengemukakan tiga prinsip untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Tiga prinsip tersebut adalah (1) pengalaman kehidupan
dalam awal keluarga, (2) pola asuh orang tua terhadap anak, dan (3) pengalaman
awal kehidupan anak dalam masyarakat.
c.
Sekolah
Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi di antaranya sebagai berikut:
1)
Iklim emosional kelas.
2)
Sikap dan prilaku guru.
3)
Disiplin.
4)
Prestasi belajar.
5)
Penerimaan teman sebaya. [2]
Dari penjelasan di atas, ada juga faktor-faktor
yang mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor
Internal
Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor
internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis
maksudnya adalah faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh
keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki oleh salah satu dari kedua orang
tuanya atau bisa jadi gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya.
Oleh karena itu, sering kita mendengar istilah “ buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”. Misalnya, sifat mudah
marah yang dimiliki oleh sang ayah bukan tidak mungkin akan menurun pula pada
anaknya.
2. Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal
ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai
dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, teman tetangga, sampai dengan
pengaruh dari barbagai madia audiovisual seperti TV, VCD dan internet, atau
media cetak seperti koran, majalah dan lain sebagainya.
Lingkungan
keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat berpengaruh
terhadap kepribadian seorang anak. Terutama dari cara orang tua mendidik dan
membesarkan anaknya. Sejak lama peran sebagai orang tua sering kali tidak
dibarengi oleh pemahaman mendalam tentang kepribadian. Akibatnya, mayoritas
orang tua hanya bisa mencari kambing hitam –bahwa si anaklah yang tidak beres-
ketika terjadi hal-hal negatif mengenai prilaku keseharian anaknya.seorang anak
yang memiliki prilaku demikian sesungguhnya meniru cara berpikir dan perbuatan
yang sengaja atau tidak sengaja yang dilakukan oleh orang tua mereka. Contoh
orang tua sering memerintahkan anaknya, “
tolong nanti kalau ada telepon, bilang ayah dan ibu sedang tidak ada dirumah,
karena ayah dan ibu akan tidur “. Peristiwa ini adalah suatu pendidikan kepada anak bahwa berbohong
boleh atau halal dilakukan. Akibatnya anak juga melakukan prilaku bohong kepada
orang lain termasuk pada orang tua yang mencontohinya. Jika perbuatan bohong
yang dilakukan anak memperoleh kepuasan atau kenikmatan, minimal tidak
memperoleh hukuman, maka perbuatan bohong itu akan dikembangkan lebih lanjut
oleh anak tersebut. Bahkan mungkin saja
daya bohong itu akan menjadi suatu kesenangan dan dapat juga menjadi suatu keahlian
yang lama-kelamaan menjadi kepribadiannya. Demikian juga prilaku positif dan
negatif lain yang terperaktikkan di lingkungan rumah.
Menurut
Levine (2005) menjadi orang tua sesungguhnya merupakan proses yang dinamis.
Situasi keluarga acap kali berubah. Tidak ada yang bersifat mekanis dalam
proses tersebut. Akan tetapi, dengan memahami bahwa kepribadian mengaktifkan
energy, mengembangkan langkah demi langkah, serta menyadari semua implikasi
setiap langkah terhadap diri anak, para orang tua secara perlahan akan mampu
menumpuk rasa percaya diri pada diri anak.
Selanjutnya,
Levine (2005) menegaskan bahwa kepribadian orang tua akan berpengaruh terhadap
caraorang tua tersebut dalam mendidik dan membesarkan anaknya yang pada
gilirannya juga berpengaruh pada kepribadian si anak tersebut. Ada Sembilan
tipe kepribadian orang tua dalam membesarkan anaknya yang juga dapat
berpengaruh pada kepribadian si anak, yaitu sebagai berikut :
a. Penasihat
moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral.
b. Penolong,
terlalu mengutamakan kebutuhan anak dengan mengabaikan akibat dari tindakan si
anak.
c. Pengatur,
selalu ingin bekerja sama dengan si anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan
membantu memperbaiki keaadan.
d. Pemimipin,
selalu berupaya untuk selalu berhubungan secara emosional dengan anak-anak
dalam setiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama.
e. Pengamat,
selalu mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya mengutamakan
objektifitas dan perspektif.
f. Pencemas,
selalu melakukan tanya jawab mental dan terus bertanya-tanya , ragu-ragu dan
memiliki gambaran terburuk bahkan meraka sampai yakin bahwa anak merka
benar-benar memahami situasi.
g. Penghibur,
selalu menerapakan gaya yang selalu santai.
h. Pelindung,
cenderung untuk mengambil alih tanggung jwab dan bersikap melindungi, berteriak
pada si anak akan tetapi kemudian melindunginnya dari ancaman yang datang.
i.
Pendamai, dipengaruhi kepribadian mereka yanag selalu
menghindar dari konflik.
Berdasarkan
Sembilan kepribadian orang tua dalam mendidik anakanya secara moralitas, maka
tampaknya tiga tipe yang sejalan dalam pembentukan kepribadian melalui
peningkatan pertimbangan moral, yaitu tipe pengatur, pengamat dan pencemas.
Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral menghendaki
orang tua di lingkungan rumah tangga bertindak sebagai teman yang dapat bakerja
sama dengan anak-anak mereka dalam menyelesaikan segala tugas guna memperbaiki
keadaan sosial maupun fisik. Kepribadian orang tua sebagai pengamat yang
menggunakan sudut pandang menyeluruh dan objektif akan membantu cara berpikir
moral anak kearah yang luas, objektif, dan menyeluruh. Demikian juga,
kepribadian orang tua tipe pencemas yang selalu membawa anak untuk berdiskusi,
bertanya jawab, dan mengajak berpikir dalam menghadapi tantangandan konflik
adalah sejalan dengan teori perkembangan moral kognitif dalam peningkatan
perkembangan moral guna pembentukan kepribadian yang baik bagi anak-anak. [3]
Dari beberapa uraian di atas muncul tiga aliran
utama yang saling bertentangan mengenai fenomena tentang faktor kepribadian[4],
yaitu :
1.
Aliran
Nativisme
Aliran
ini dipelopori oleh Schoupenhouer yang berpendapat bahwa faktor pembawaan itu
lebih kuat dari pada faktor yang datang dari luar. Aliran ini didukung oleh
aliran Naturalisme yang ditokohi oleh J.J. Rousseau yang berpendapat bahwa:
segala yang suci dari tangan tuhan, rusak di tangan manusia. Anak manusia itu
sejak lahir, ada di dalam keadaan yang suci, tetapi karena dididik oleh
manusia, malah menjadi rusak. Ia bahkan kenal dengan segala macam kejahatan, penyelewengan,
korupsi, mencuri, dan sebagainya.
2.
Aliran
Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh jhon
locke, dengan tabula rasanya. Aliran Empieisme berpendapat bahwa anak sejak
lahir, masih bersih seperti tabula rasa, dan baru akan berisi bila ia menerima
sesuatu dari luar, lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luarlah yang
lebih kuat daripada pembawaan manusia.
Aliran
ini diperkuat oleh J.F. Herbart dengan teori psikologi asosiasinya, yang
berpendapat bahwa jiwa manusia sejak dilahirkan itu masih kosong. Baru akan
berisi apabila alat indranya telah dapat menangkap sesuatu, yaitu jiwa. Di dalam
kesadaran ini, hasil tangkapan itu tadi meninggalkan bekas. Bekas ini disebut
tanggapan. Makin lama alat indera yang dapat menangkap rangsangan dari luar ini
makin banyak dan semuanya itu meninggalkan tanggapan. Di dalam tanggapan ini
saling tarik menarik dan tolak menolak. Yang bertarik menarik adalah tanggapan
yang sejenis, sedangakan tolak menolak adalah tanggapan yang tidak sejenis.
3.
Aliran
Convergensi
Aliran
ini dipelopori oleh itu W. Stern, mengajukan teorinya, yang terkenal dengan
teori perpaduan, atau teori convergensi, yang berpendapat bahwa kekuatan itu
sebenarnya berpadu menjadi satu. Keduanya saling memberikan pengaruh. Bakat
yang ada pada anak, ada kemungkinan tidak akan berkembang kalau tidak
dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada disekitar lingkunganya. Demikian pula
pengaruh dari lingkungan juga tidak akan berfaedah apabila tidak ada yang
menanggapi di dalam jiwa manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memepengaruhi
kepribadian yaitu faktor hereditas atau genetika yang meliputi unsur fisik yang
diturunkan oleh orang tua seperti bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat
yang diturunkan dari orang tua. Selanjutnya faktor lingkungan yaitu antara lain
lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Di samping itu, meski kepribadian
seseorang itu relatif konstan, kenyataannya sering ditemukan perubahan
kepribadian. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan
lingkungan.
Dalam
menyikapi faktor-faktor tersebut muncul tiga aliran utama mengenai faktor
kepribadian yaitu aliran Nativisme yang dipelopori oleh
Schoupenhouer yang mengungkapkan bahwa faktor pembawaan itu lebih kuat dari
faktor yang datang dari luar, kemudian aliran Empirisme yang
dikemukakan oleh John Locke yang berpendapat bahwa faktor dari luar itu lebih
kuat karena manusia dilahirkan itu diandaikan seperti tabula rasa yang masih
kosong dan akan terisi bila manusia menerima sesuatu dari luar, berbeda dengan
keduanya, W. Stern mengemukakan teori Convergensi atau teori perpaduan
yaitu faktor pembawaan tidak akan berkembang jika tidak dipengaruhi oleh faktor
dari luar, begitu sebaliknya faktor dari lingkungan tidak akan dapat
berpengaruh apabila tidak ada yang menanggapi dari dalam jiwa manusia.
DAFTAR PUSTAKA
W. Sarwono, Sarlito, Pengantar psikologi Umum, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010.
Sujanto, Agus, Psikologi Kepriadian,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997.
Samsyu, Yusuf dan Juntika
Nurihsan, Teori Kepriadian, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Wikipedia Bahasa Indonesia.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking