MAKALAH
KHAWARIJ, MURJI’AH dan SYI’AH
Oleh:
1.
Muhammad Badrut Tamam
IAIN Sunan
Ampel Surabaya
2011/2012
Khawarij
1. Pengertian Khawarij
Secara etimologis
kata khawarij berasal dari bahasa Arab (kharaja) yang berarti keluarnama ini
diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Adapun
yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin
Abi Tholib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidakkesepakatan terhadap
keputusan Aliyang menerima arbitrase.
Dalam perang siffin pada tahun 37
H/648 M, dengan kelompok bughot (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaak khalifah.
2. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Khawarij merupakan
suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik. Dikatakan
khawarij karena mereka keluar dari dari barisan pasukan Ali saat pulang dari
perang siffin yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian yang
disepakati olh ali. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka
merupakan suatu kesalahan besar, karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama
halnya dengan Thalhah dan Zubair.
Kemudian kaum
Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan kesalahan,
seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah sistem
politiknya sehingga menimbulkan huru-hara. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri yang
melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam perang siffin.
Pada awalnya
tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash Ali
bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses
tahkim (damai). Namun, tahkim
tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai dengan ketentuan ajran
agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang seharusnya diperangi.
Kendati semua yang
mereka kafirkan adalah para pelaku
politik yang menurut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak
mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar
politik, bahkan lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat
dan tidak sealiran dengan mereka. Akhirnya semakin banyak konflik dan
pertempuran akibat pemikiran teologynya, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa
sah saat itu menyerang dan menghancurkannya tahun 37H. akan tetapi salah
seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun
ke-40H.
Walaupun telah
dihancurkan Ali tahun ke-37H, namun sisa-sisa kekuatan mereka masih terus
bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi. Akan tetapi, kelompok ini
rentan sekali sehingga dapat dihancurkan kembali oleh Bani Umayyah pada tahun 70 H. sisa-sisanya dari sub sekte
Ibadiyah masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Omman dan Arabia
Selatan. Akan tetapi mereka tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap
penguasa yang sah.
3. Doktrin-doktrin Pokoknya
Karena dalam Islam
kekuasaan politik dan agama (teologi) tak terpisahkan, maka khawarij pun juga
bersifat teologis. Pembicaraan pokok
Khawarij dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
·
Ajaran pokok Kawarij di
bidang politik
Ø
Mereka lebih bersifat
demokratis, bahwa kekhalifahan itu haruslah diadakan dangan pemilihan umum
secara bebas dan sah yang akan diikuti oleh semua umat Islam secara
keseluruhan.
Ø
Bahwa yang berhak menduduki
jabatan khalifah tidak hanya terbatas pada orang-orang dari keturunan Quraisy,
tetapi semua bangsa Arab maupun non arab.
Ø
Khalifah sebelum Ali adalah
sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng.
Ø
Khalifah Ali adalah sah
tetapi setelah terjadi arbitrase, ia
dianggap telah menyeleweng.
·
Ajaran pokok Khawarij di
bidang teologi
Ø
Khawarij berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa, tidak pandang dosa apapun (baik kecil maupun besar)
termasuk sesuatu yang mereka pandang salah, mereka menghukuminya sebagai orang
kafir.
Ø
Bahwa orang-orang yang
berbuat dosa besar dan tidak bertubat, maka mereka itulah orang kafir yang
kelak di dalam neraka.
Ø
Bahwa Khawarij lebih
berpegang kepada dhahirnya lafadz dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4. Sekte-sekte Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan, Khawarij telah
menjadikan imamah-khilafah (politik) sebagai doktrin sentral yang memicu
timbulnya doktri-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak
dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan pada
perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal
dengan sesama kelompok Islam lainnya.
Untuk mengetahui pandangan mereka tentang iman dan
kufr dapat dilacak dari pandangan masing-0masing sekte tersebut. Paham dan
ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut:
A. al-Muhakkimah:
dipandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut Ali yang
kemudian membangkang. Selanjutnya dalam paham sekte ini Ali, Mu’awiyah dan
semua orang yang menyetujui arbitrase dituduh
telah kafir karena mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang
tercantum dalam surat al-Maidah ayat 44.
B.
Al-Azariqah: bahwa setiap orang Islam yang menolak
ajaran mereka dianggap musyrik. Mereka yang tidak berhijrah ke wilayah mereka
juga musyrik, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh,
termasuk anak dan istri mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai dar al-Islam (darul Islam), di luar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai atau diperintah oleh orang kafir)
C. An-Najjat: mereka
menolak paham al-Azariqah. Bagi An-najdat dosa kecil dapat meningkatkan menjadi
besar bila dikerjakan terus menerus. Bagi mereka taqiyah (orang yang menyembunyikan identitas keimanannya demi
keselamatan dirinya diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan
yang bertentangan dengan keyakinannya.
D. Al-Ajaridah:
pandangan mereka lebih moderat, orang lain tidak wajib hijjrah ke wilayah
mereka, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang
mati terbunuh, anak kecil tidak dianggap musyrik, Surah Yusuf dipandang bukan
bagian dari al-Qur’an karena tidak layak memuat cerita-cerita percintaan.
E. As-Sufriyah:
pendapatnya yang penting adalah istilah kufr
atau kafir mengandung dua arti, yaitu kufr
al-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) kafir tidak berati keluar dari Islam
dan kufr bi Allah (mengingkari Tuhan
) taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan, kecuali bagi wanita Islam boleh
menikah dengan Laki-laki kafir bila terancam keamanan dirinya.
F.
Al-Ibadiyah: orang yang berdosa besar tidak
disebut mukmin, melainkan muwahhid (yang
dimaksud adalah kafir nikmat, tidak membuat pelakunya keluar dari Islam). Dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan
dan itu yang harus diperangi, selain itu Dar
al-tauhid (daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam), tidak boleh
diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang adalah kuda dan alat perang.
AL-MURJI’AH
1. Pengertian kata Murji’ah
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Murji’ah.
a. Pendapat pertama mengatakan bahwa Murji’ah berarti penangguhan.
Kata Murji’ah dipergunakan untuk menyebut suatu kelompok Muslim, karena mereka
menangguhkan perbuatan dari niat dan balasan.
b. Pendapat kedua mengartikan Murji’ah dengan ‘memberi harapan’:
bahwa kata Murji’ah berasal dari kata al-raja’ yang berarti harapan.
Adapun secara istilah, Murji’ah adalah kelompok yang
mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka
kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Ada juga yang berpendapat
bahwa irja’ berarti penangguhan hukuman kepada orang yang berbuat dosa besar
sampai hari kiamat.
2. Asal-usul kemunculan Murji’ah
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk
menghindari sektarianisme. Murjia’h, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain yang mengatakan bahwa gagasan irja’, yang
merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik
yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695M. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa
20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680M, dunia Islam dikoyak oleh
pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa pemahaman syi’ah ke Kufah dari tahun
685-687M; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Makkah hingga yang berada di
bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaaan ini, muncul gagasan irja’
atau penangguhan. Gagasan ini pertama kali depergunakan sekitar tahun 695 oleh
cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam surat
pendeknya. Dalam surat tersebut, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan
mengatakan, “kita mengakui Abu Bakar dan Umar, akan tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada komflik sipil pertama yang
melibatkan Usman, Ali dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke makkah)”. Dengan
sikap politik ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam.
Ia kemudian mengelak berdamping dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang
terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari
Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia
adalah keturunan si pendosa Usman.
Teori lain yang menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan
antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki
tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang
kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu
Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,
dalam pengertian tidak bertahkim pada berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat
dihukumi sebagai kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina,
riba, membunuh tanpa alasan yang benar serta durhaka pada orang tua. Pendapat
ini ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan
pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan polotik,
kemudian berkembang menjadi aliran teologi. Abu Zahrah berpendapat bahwa
golongan ini timbul di tengah-tengah dibicarakannya masalah orang yang berbuat
dosa besar, apakah mukmin atau tidak? Bagi Khawarij, mereka itu kafir. Bagi
Mu’tazilah, mereka itu dan sebenarnya mereka masih disebut muslim. Adapun Hasan
Al-Basri dan sebagian Tabi’in menyatakan orang itu munafiq, karena susungguhnya
perbuatan menunjukkan hati dan ucapan syahadat itu tidaklah menunjukkan iman.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14 :
ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$#
$¨YtB#uä
( @è%
öN©9
(#qãZÏB÷sè?
`Å3»s9ur
(#þqä9qè%
$oYôJn=ór&
$£Js9ur
È@äzôt
ß`»yJM}$#
Îû
öNä3Î/qè=è%
( bÎ)ur
(#qãèÏÜè?
©!$#
¼ã&s!qßuur
w Nä3÷GÎ=t
ô`ÏiB
öNä3Î=»yJôãr&
$º«øx©
4 ¨bÎ)
©!$#
Öqàÿxî
îLìÏm§
ÇÊÍÈ
Artinya : “orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk
ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
3. Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan
atau doktrin irja’ atau arja yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik
persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja’
diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu
diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya. Kelompok Murji’ah dikenal
pula sebagai ‘kelompok bungkam’. Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh
sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan
Murjiah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu.
Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi
semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid,
tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman
atas dosa, serta ketentuan Tuhan.
Menurut Abu A’la Al-Maududi, ada dua doktri pokok
ajaran Murji’ah :
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal
atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan
hal ini, seseoarang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman
dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas
seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan
diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
4. Sekte-sekte Murji’ah
Ada beberapa golongan Murji’ah dalam persoalan iman dan kufur
:
a. Al-Yunusiyyah : yang dipelopori oleh Yunus ibn ‘Aun al-Namiri,
berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah kepada Allah dengan menaatinya,
mencintai dengan sepenuh hati, meninggalkan takabbur.
b. Al-Ubaidiyyah : yang dipelopori oleh ‘Ubaid al-Mukta’ib,
berpendapat bahwa selain perbuatan syirik akan diampuni Allah.
c. Al-Ghassaniyyah : dipelopori oleh Ghassan al-Kafi, berpendapat
bahwa iman adalah ma’rifah kepada Allah dan Rasul, mengakui dengan lisan akan
kebenaran yang diturunkan oleh Allah, namun secara globlal tidak perlu secara
rinci. Iman menurutnya bersifat statis : tidak bertambah dan berkurang.
- Ats-Tsaubaniyyah : dipelopori oleh Abu Tsauban al-Murji’i, berpendapat bahwa iman adalah mengenal dan mengakui terhadap Allah dan Rasulnya.
SYI’AH
A. Latar Belakang Sejarah
Kata Syi’ah berasal adri kata sya’ah, syiya’ah (bahasa Arab) yang berarti mengikuti. Jika dikatakan “seorang dari syi’ah Fulan”, hal ini berarti bahwa dia dari pengikut Fulan. Kata syi’ah berlaku baik untuk tinggal, ganda maupun jama’, baik untuk maskulin maupun feminin. Dari pengertin umum ini, kemudian kata syi’ah dilekatkan secara khusus kepada para pengkut Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW.
Kata syi’ah ini sendiri muncul dari
Mukhtar bi Abi Ubaid ats-Saqfi yang mengatakan bahwa “adalah syi’ah yang
merupakan keturunan Nabi Muhammad saw bin Ali bin Abi Thalib”. Dan setelah
Mukhtar bin Ali bn Abi Thalib terbunuh, syi’ah menjadi sebuah kelompok atau
aliran agama yang meletakkan dasar-dasar Syi’ah. Tetapi saat itu syi’ah belum
sempurna menjadi suatu aliran hingga pada masa Ja’far Shadiq.
Maka, doktrin penting dalam syi’ah
adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait,
dan menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait
atau para pengikutnya.
B. Ragam
Pendapat Tentang Kelahiran Syi’ah
Ada beberapa pendapat yang
diutarakan para sejarawan Islam dan para penganut sekte-sekte dan isme-isme
(Heresiographer) dalam Islam tentang kelahiran faham Syi’ah. Diantaranya:
- Embrio syi’ah dimulai dengan peristiwa setelah wafat Nabi Muhammad SAW. Ada kelompok yang memandang bahwa ahlul bait lah yan paling berhak meneruskan kepemimpinan Nabi, dan yang paling berhak dari ahlul bait adalah Ali. Pendukungnya yaitu Salman Al-Farisi Abu Dzarr, dan Al-Mikdad bin Al-Aswad Al-Kindi. Pandangan kelompok ini diperkuat oleh komentar Ali terhadap Hadits Nabi “ Al-Aimmatu min quroisy” /9pemimpin itu dari Quraisy) yang dijadikan legitimasi penunjuk Abu bakar sebagai Khalifah: “Mereka telah berdalih dengan pohon tak lupa akan buahnya (maksudnya ahlul baith).
- Syi’ah lahir pada zaman khalifaah ketiga Utsman bin Affan sebagai konsekwensi logis adanya berbagai kejadian dan penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam. Pendapat tersebit diutarakan oleh Ibn Hazm dan ulama’ lain.
- Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang berakhir dengan kamatian Utsman bin Affan dan ada tuntuy=tan umat agar Ali bin Abi Thlib bersedia dibaiat sebagai khalifah.
- Pendapat yang paling populer adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim atau arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan khawarij. Sebagian besar orang yang setia kepada Khalifah disebut Syi’atu Ali (Pengikut Ali)
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah iman atau
Khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW telah
tumbuh sejak Nabi masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW sendirilah
yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syi’ah inti dari ajaran syi’ah itu
sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Namun, terlepas dari semua pendapat tersebut, yangjelas adalah bahwa
syi’ah baru muncul ke permukaan setelah ada kemelut antara pasukan Ali pun
terjadi pula pertentangan antara yang tetap setia kepada Ali dan yang
membangkan.
Doktrin politik yang dikembangkan adalah doktrin kelompok yang dipandang
sebagai embrio syi’ah. Menurut Ahmad Salaby ada tujuh faktor yang memungkinkan
pertumbuhan syi’ah yaitu :
1. Utsman, karena sebagian kebijaksanaannya dan kedudukannya di tengah
keluarganya telah menumbuhkan margaisme
2. Kecenderungan emosional yang alami untuk mendukung, mencintai
dan membela keluarga Rasul.
3. Kepribadian Ali yang terkenal kepahlawanannya yang tanpa tanding
pada masa penyebaran Islam, ilmunya yang luas dan akhlaqnya yang baik
4. Pendapat umum bahwa Ali tersisih dan dijauhkan dari kedudukan
Kholifah yang sebetulnya pantas didudukinya
5. Ali mejadikan Kuffah sebagai ibu kota, dan semenjak itu Kuffah
sebagai pusat gerakan Syi’ah
6. Sebelum Islam di Persia, telah dianut secara meluas pandangan
tentang “Devine Right” (kebenaran ilahiah) yang beranggapan bahwa darah Tuhan
telah mengalir pada keuarhga Raja, sehingga dengan demikian Raja adalah pemilik
kebenaran hukum yang rakyat wajib menaatinya serta penunjukkan raja dari keluarga
ini adalah kewajiban suci.
7. Di antara pemberontak (terhadap Utsman) terlibat orang-orang
yang kalah oleh Islam, sehingga mereka ingin menghancurkan Islam.
Sebagaimana
yang dikutip oleh Abdul Razak di bukunya Ilmu Kalam, bahwa menurut syi’ah hanya
Ali bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam
pandangan syi’ah sejalan dengan isyarah yang diberikan Nabi Muhammad SAW pada
masa hidupnya.
Bukti
utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum.
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari
Makkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khum. Nabi
memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh sesak yang menyertai
beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin
umat, tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali)
mereka.
C. Sekta-Sekte
Syi’ah
Persoalan imamah menimbulkan
sekte-sekte dalam Syi’ah. Semua sekte syi’ah sepakat bahwa imam yang pertama
adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Husain bin Ali. Namun setelah itu muncul
perselisihan mengenai siapa yang nantinya menjadi pengganti dari Husain bin
Ali. Dalam hal ini muncul dua keompok dalam syi’ah. Kelompok pertama, meyakini
bahwa imamah beralih kepada Ali bin Husain Zainal Abidin, putra dari Husain bin
Ali sendiri. Kelompok kedua, meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin
Hnafiyah, putra Ali bin Abi Thalib dari istri bukan Fatimah.
- Golongan Kisaniyah
Pendirinya adalah Kisan, mantan pelayan Ali bin Abi
Thalib, pernah belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah.
Mereka sependapat bahwa agama merupakan ketaatan kepada pemimpin (imam), karena para
imam dapat menakwilkan ajaran-ajaran agama seperti sholat, puasa, dan haji.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggalkan perintah agama dan merasa
cukup dengan nenaati para imam. Ada lagi yang berpendapat bahwa imam boleh saja
dari luar keturunan Ali, tetapi kemudian kembali kepada keturunan Ali.
- al-Zaidiyah
Al-Zaidiyah adalh para pengikut Zaid ign Alim ibn Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib. Menurut mereka, imammah hanya berada di tangan keturunan Fatimah dan
tidak ada imammah selain mereka.mereka membolehkan ada dua orang imam pada dua
daerah yang telah memenuhi persyaratan dan keduanya imam yang sah dan wajib
ditaati.
- Al-Imamiyah
Imamiyah adalah kelompok Shi’ah yang berpendapat bahwa Ali Ibn Abi Thalib
secara nash dinyatakan sebagai imam bukan hanya disebut sifatnya bahkan
ditunjuk orangnya. Tidak ada yang terpenting dalam ajaran Islam selain dari
menunjuk imam karenanya Rasulullah sampai akhir hayatnya selalu mengurus urusan
umat. Diangkatnya imam adalah untuk menghilangkan semua perselisihan dan untuk mempersatukan umat.
- Al-Ghaliyyah (Ekstrim)
Al-Ghaliyyah adalah golongan ekstrim yang berlebihan dalam memberikan
sifat para iman yang akhirnya menghilangkan sifat kemanusiaan pada diri para
imam.
- Isma’iliyah
Isma’iliyah mengakui imamah Ismail ibn Jafar ialah putra Jafar
Ash-Shaddiq yang menurut mereka ditetapkan sebagai imam menurut taqdir Allah,
menurut mereka Jafar Ash-shadiq tidak pernah kawin dengan seorang wanita dan
tidak pernah mangambil jariah selama ibu Ismail masih hidup.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking