Maandag 29 April 2013

ILMU KALAM: Aliran Khawarij, Murji'an dan Syiah


MAKALAH
KHAWARIJ, MURJI’AH dan SYI’AH










Oleh:
1.    Muhammad Badrut Tamam



IAIN Sunan Ampel Surabaya
2011/2012



Khawarij
1.      Pengertian Khawarij
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab (kharaja) yang berarti keluarnama ini diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran  pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidakkesepakatan terhadap keputusan Aliyang menerima arbitrase. Dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughot (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaak khalifah.

2.      Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Khawarij merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij karena mereka keluar dari dari barisan pasukan Ali saat pulang dari perang siffin yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian yang disepakati olh ali. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka merupakan suatu kesalahan besar, karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan Zubair.

Kemudian kaum Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam perang siffin.

Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai). Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai dengan ketentuan ajran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang seharusnya diperangi.

Kendati semua yang mereka kafirkan adalah  para pelaku politik yang menurut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga  mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka. Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologynya, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang dan menghancurkannya tahun 37H. akan tetapi salah seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40H.

Walaupun telah dihancurkan Ali tahun ke-37H, namun sisa-sisa kekuatan mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga dapat dihancurkan kembali oleh Bani Umayyah  pada tahun 70 H. sisa-sisanya dari sub sekte Ibadiyah masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Omman dan Arabia Selatan. Akan tetapi mereka tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap penguasa yang sah.

3.      Doktrin-doktrin Pokoknya
Karena dalam Islam kekuasaan politik dan agama (teologi) tak terpisahkan, maka khawarij pun juga bersifat teologis. Pembicaraan pokok Khawarij dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

·         Ajaran pokok Kawarij di bidang politik
Ø  Mereka lebih bersifat demokratis, bahwa kekhalifahan itu haruslah diadakan dangan pemilihan umum secara bebas dan sah yang akan diikuti oleh semua umat Islam secara keseluruhan.
Ø  Bahwa yang berhak menduduki jabatan khalifah tidak hanya terbatas pada orang-orang dari keturunan Quraisy, tetapi semua bangsa Arab maupun non arab.
Ø  Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
Ø  Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng.
·         Ajaran pokok Khawarij di bidang teologi
Ø  Khawarij berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa, tidak pandang dosa apapun (baik kecil maupun besar) termasuk sesuatu yang mereka pandang salah, mereka menghukuminya sebagai orang kafir.
Ø  Bahwa orang-orang yang berbuat dosa besar dan tidak bertubat, maka mereka itulah orang kafir yang kelak di dalam neraka.
Ø  Bahwa Khawarij lebih berpegang kepada dhahirnya lafadz dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4.      Sekte-sekte Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan, Khawarij telah menjadikan imamah-khilafah (politik) sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya doktri-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan pada perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal dengan sesama kelompok Islam lainnya.

Untuk mengetahui pandangan mereka tentang iman dan kufr dapat dilacak dari pandangan masing-0masing sekte tersebut. Paham dan ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut:
A.    al-Muhakkimah: dipandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Selanjutnya dalam paham sekte ini Ali, Mu’awiyah dan semua orang yang menyetujui arbitrase dituduh telah kafir karena mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam surat al-Maidah ayat 44.
B.     Al-Azariqah: bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran mereka dianggap musyrik. Mereka yang tidak berhijrah ke wilayah mereka juga musyrik, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai dar al-Islam (darul Islam), di luar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai atau diperintah oleh orang kafir)
C.     An-Najjat: mereka menolak paham al-Azariqah. Bagi An-najdat dosa kecil dapat meningkatkan menjadi besar bila dikerjakan terus menerus. Bagi mereka taqiyah (orang yang menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya.
D.    Al-Ajaridah: pandangan mereka lebih moderat, orang lain tidak wajib hijjrah ke wilayah mereka, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, anak kecil tidak dianggap musyrik, Surah Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Qur’an karena tidak layak memuat cerita-cerita percintaan.
E.     As-Sufriyah: pendapatnya yang penting adalah istilah kufr atau kafir mengandung dua arti, yaitu kufr al-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) kafir tidak berati keluar dari Islam dan kufr bi Allah (mengingkari Tuhan ) taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan, kecuali bagi wanita Islam boleh menikah dengan Laki-laki kafir bila terancam keamanan dirinya.
F.      Al-Ibadiyah: orang yang berdosa besar tidak disebut mukmin, melainkan muwahhid (yang dimaksud adalah kafir nikmat, tidak membuat pelakunya keluar dari Islam). Dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itu yang harus diperangi, selain itu Dar al-tauhid (daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang adalah kuda dan alat perang.

AL-MURJI’AH
1.      Pengertian kata Murji’ah
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Murji’ah.
a.       Pendapat pertama mengatakan bahwa Murji’ah berarti penangguhan. Kata Murji’ah dipergunakan untuk menyebut suatu kelompok Muslim, karena mereka menangguhkan perbuatan dari niat dan balasan.

b.      Pendapat kedua mengartikan Murji’ah dengan ‘memberi harapan’: bahwa kata Murji’ah berasal dari kata al-raja’ yang berarti harapan.
Adapun secara istilah, Murji’ah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Ada juga yang berpendapat bahwa irja’ berarti penangguhan hukuman kepada orang yang berbuat dosa besar sampai hari kiamat.

2.      Asal-usul kemunculan Murji’ah

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murjia’h, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.

Teori lain yang mengatakan bahwa gagasan irja’, yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695M. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680M, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa pemahaman syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687M; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Makkah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaaan ini, muncul gagasan irja’ atau penangguhan. Gagasan ini pertama kali depergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam surat pendeknya. Dalam surat tersebut, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “kita mengakui Abu Bakar dan Umar, akan tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada komflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke makkah)”. Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdamping dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman.

Teori lain yang menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim pada berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi sebagai kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar serta durhaka pada orang tua. Pendapat ini ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.

Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan polotik, kemudian berkembang menjadi aliran teologi. Abu Zahrah berpendapat bahwa golongan ini timbul di tengah-tengah dibicarakannya masalah orang yang berbuat dosa besar, apakah mukmin atau tidak? Bagi Khawarij, mereka itu kafir. Bagi Mu’tazilah, mereka itu dan sebenarnya mereka masih disebut muslim. Adapun Hasan Al-Basri dan sebagian Tabi’in menyatakan orang itu munafiq, karena susungguhnya perbuatan menunjukkan hati dan ucapan syahadat itu tidaklah menunjukkan iman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14 :

ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôtƒ ß`»yJƒM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur
 (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿw Nä3÷GÎ=tƒ ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ  
Artinya : “orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
           
3.      Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya. Kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai ‘kelompok bungkam’. Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murjiah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atas dosa, serta ketentuan Tuhan.
Menurut Abu A’la Al-Maududi, ada dua doktri pokok ajaran Murji’ah :
a.       Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseoarang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.

b.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

4.      Sekte-sekte Murji’ah
Ada beberapa golongan Murji’ah dalam persoalan iman dan kufur :
a.       Al-Yunusiyyah : yang dipelopori oleh Yunus ibn ‘Aun al-Namiri, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah kepada Allah dengan menaatinya, mencintai dengan sepenuh hati, meninggalkan takabbur.

b.      Al-Ubaidiyyah : yang dipelopori oleh ‘Ubaid al-Mukta’ib, berpendapat bahwa selain perbuatan syirik akan diampuni Allah.

c.       Al-Ghassaniyyah : dipelopori oleh Ghassan al-Kafi, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah kepada Allah dan Rasul, mengakui dengan lisan akan kebenaran yang diturunkan oleh Allah, namun secara globlal tidak perlu secara rinci. Iman menurutnya bersifat statis : tidak bertambah dan berkurang.

    1. Ats-Tsaubaniyyah : dipelopori oleh Abu Tsauban al-Murji’i, berpendapat bahwa iman adalah mengenal dan mengakui terhadap Allah dan Rasulnya.



SYI’AH

A. Latar Belakang Sejarah
            Kata Syi’ah berasal adri kata sya’ah, syiya’ah (bahasa Arab) yang berarti mengikuti. Jika dikatakan “seorang dari syi’ah Fulan”, hal ini berarti bahwa dia dari pengikut Fulan. Kata syi’ah berlaku baik untuk tinggal, ganda maupun jama’, baik untuk maskulin maupun feminin. Dari pengertin umum ini, kemudian kata syi’ah dilekatkan secara khusus kepada para pengkut Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW.
            Kata syi’ah ini sendiri muncul dari Mukhtar bi Abi Ubaid ats-Saqfi yang mengatakan bahwa “adalah syi’ah yang merupakan keturunan Nabi Muhammad saw bin Ali bin Abi Thalib”. Dan setelah Mukhtar bin Ali bn Abi Thalib terbunuh, syi’ah menjadi sebuah kelompok atau aliran agama yang meletakkan dasar-dasar Syi’ah. Tetapi saat itu syi’ah belum sempurna menjadi suatu aliran hingga pada masa Ja’far Shadiq.
            Maka, doktrin penting dalam syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait, dan menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.
B. Ragam Pendapat Tentang Kelahiran Syi’ah
            Ada beberapa pendapat yang diutarakan para sejarawan Islam dan para penganut sekte-sekte dan isme-isme (Heresiographer) dalam Islam tentang kelahiran faham Syi’ah. Diantaranya:
  • Embrio syi’ah dimulai dengan peristiwa setelah wafat Nabi Muhammad SAW. Ada kelompok yang memandang bahwa ahlul bait lah yan paling berhak meneruskan kepemimpinan Nabi, dan yang paling berhak dari ahlul bait adalah Ali. Pendukungnya yaitu Salman Al-Farisi Abu Dzarr, dan Al-Mikdad bin Al-Aswad Al-Kindi. Pandangan kelompok ini diperkuat oleh komentar Ali terhadap Hadits Nabi “ Al-Aimmatu min quroisy” /9pemimpin itu dari Quraisy) yang dijadikan legitimasi penunjuk Abu bakar sebagai Khalifah: “Mereka telah berdalih dengan pohon tak lupa akan buahnya (maksudnya ahlul baith).
  • Syi’ah lahir pada zaman khalifaah ketiga Utsman bin Affan sebagai konsekwensi logis adanya berbagai kejadian dan penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam. Pendapat tersebit diutarakan oleh Ibn Hazm dan ulama’ lain.
  • Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang berakhir dengan kamatian Utsman bin Affan dan ada tuntuy=tan umat agar Ali bin Abi Thlib bersedia dibaiat sebagai khalifah.
  • Pendapat yang paling populer adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim atau arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan khawarij. Sebagian besar orang yang setia kepada Khalifah disebut Syi’atu Ali (Pengikut Ali)

Pendirian kalangan Syi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah iman atau Khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW telah tumbuh sejak Nabi masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syi’ah inti dari ajaran syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Namun, terlepas dari semua pendapat tersebut, yangjelas adalah bahwa syi’ah baru muncul ke permukaan setelah ada kemelut antara pasukan Ali pun terjadi pula pertentangan antara yang tetap setia kepada Ali dan yang membangkan.
Doktrin politik yang dikembangkan adalah doktrin kelompok yang dipandang sebagai embrio syi’ah. Menurut Ahmad Salaby ada tujuh faktor yang memungkinkan pertumbuhan syi’ah yaitu :
1.      Utsman, karena sebagian kebijaksanaannya dan kedudukannya di tengah keluarganya telah menumbuhkan margaisme
2.      Kecenderungan emosional yang alami untuk mendukung, mencintai dan membela keluarga Rasul.
3.      Kepribadian Ali yang terkenal kepahlawanannya yang tanpa tanding pada masa penyebaran Islam, ilmunya yang luas dan akhlaqnya yang baik
4.      Pendapat umum bahwa Ali tersisih dan dijauhkan dari kedudukan Kholifah yang sebetulnya pantas didudukinya
5.      Ali mejadikan Kuffah sebagai ibu kota, dan semenjak itu Kuffah sebagai pusat gerakan Syi’ah
6.      Sebelum Islam di Persia, telah dianut secara meluas pandangan tentang “Devine Right” (kebenaran ilahiah) yang beranggapan bahwa darah Tuhan telah mengalir pada keuarhga Raja, sehingga dengan demikian Raja adalah pemilik kebenaran hukum yang rakyat wajib menaatinya serta penunjukkan raja dari keluarga ini adalah kewajiban suci.
7.      Di antara pemberontak (terhadap Utsman) terlibat orang-orang yang kalah oleh Islam, sehingga mereka ingin menghancurkan Islam.
Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Razak di bukunya Ilmu Kalam, bahwa menurut syi’ah hanya Ali bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah sejalan dengan isyarah yang diberikan Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khum. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umat, tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka.
C. Sekta-Sekte Syi’ah
            Persoalan imamah menimbulkan sekte-sekte dalam Syi’ah. Semua sekte syi’ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Husain bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa yang nantinya menjadi pengganti dari Husain bin Ali. Dalam hal ini muncul dua keompok dalam syi’ah. Kelompok pertama, meyakini bahwa imamah beralih kepada Ali bin Husain Zainal Abidin, putra dari Husain bin Ali sendiri. Kelompok kedua, meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hnafiyah, putra Ali bin Abi Thalib dari istri bukan Fatimah.
  1. Golongan Kisaniyah
Pendirinya adalah Kisan, mantan pelayan Ali bin Abi Thalib, pernah belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah.
Mereka sependapat bahwa agama merupakan  ketaatan kepada pemimpin (imam), karena para imam dapat menakwilkan ajaran-ajaran agama seperti sholat, puasa, dan haji. Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggalkan perintah agama dan merasa cukup dengan nenaati para imam. Ada lagi yang berpendapat bahwa imam boleh saja dari luar keturunan Ali, tetapi kemudian kembali kepada keturunan Ali.
  1. al-Zaidiyah
Al-Zaidiyah adalh para pengikut Zaid ign Alim ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Menurut mereka, imammah hanya berada di tangan keturunan Fatimah dan tidak ada imammah selain mereka.mereka membolehkan ada dua orang imam pada dua daerah yang telah memenuhi persyaratan dan keduanya imam yang sah dan wajib ditaati.
  1. Al-Imamiyah
Imamiyah adalah kelompok Shi’ah yang berpendapat bahwa Ali Ibn Abi Thalib secara nash dinyatakan sebagai imam bukan hanya disebut sifatnya bahkan ditunjuk orangnya. Tidak ada yang terpenting dalam ajaran Islam selain dari menunjuk imam karenanya Rasulullah sampai akhir hayatnya selalu mengurus urusan umat. Diangkatnya imam adalah untuk menghilangkan semua perselisihan      dan untuk mempersatukan umat.
  1. Al-Ghaliyyah (Ekstrim)
Al-Ghaliyyah adalah golongan ekstrim yang berlebihan dalam memberikan sifat para iman yang akhirnya menghilangkan sifat kemanusiaan pada diri para imam.
  1. Isma’iliyah
Isma’iliyah mengakui imamah Ismail ibn Jafar ialah putra Jafar Ash-Shaddiq yang menurut mereka ditetapkan sebagai imam menurut taqdir Allah, menurut mereka Jafar Ash-shadiq tidak pernah kawin dengan seorang wanita dan tidak pernah mangambil jariah selama ibu Ismail masih hidup.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking