MA’RIFAT
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Akhlak Tasawuf”
Oleh
Kelompok 11:
Muhammad Badruttamam (D01211061)
Dosen
Pembimbing:
Dr.
Ali Mas’ud, M.Ag
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
|
BABI
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Tanda
Ma’rifat
Dari segi bahasa, Ma’rifah
berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang
artinya mengetahui atau pengalaman.[1] Dan
apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini
berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini
dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri
mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ
بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah ketepatan
hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.
Asy-Syekh Muhammad Dahlan
Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ،
وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya
kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan
Nur Ilahi...”
c.
Imam Al-Qusyairy
mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ
فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ
مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam
hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya).”[2]
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai
kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya
ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’
selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak menjadikan keputusan
pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang
nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat
Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan
yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak
membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar
dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup
dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
a.
Imam Rawin mengatakan, Sufi
yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila
ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah
larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya.
Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.
Al-Junaid Al-Baghdadiy
mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air
gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut
(hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa
musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya
sekejap mata saja.
c.
Sahal bin Abdillah
mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa
kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga
keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat,
Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak
pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,
seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami
kesesatan.
B.
Hakikat Ma’rifat
Ada segolongan orang
Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan
paham-pahamnya antara lain:
1.
Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari
manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat
hanya Allah.
2.
Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang
arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.
Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang
dilihat hanyalah Allah SWT.
4.
Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua
orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang-gemilang.[3]
Menurut “Zunnun
Al-Misrilah” (Bapak paham Ma’rifah) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga
macam[4]:
1.
Pengetahuan Awam
Memberi
penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.
Pengetahuan Ulama
Memberi
penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.
Pengetahuan Sufi
Memberi
penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat
memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehinggga kedua pengetahuan tersebut
baru disebut “Ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi
pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui
hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum
Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya.
Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.
Untuk memperoleh
“Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun Al-Misrilah mengatakan:
عَرَفْتُ رَبّى وَلَوْلاَرَبّى لَماَ
عَرَفْتُ رَبّىِ
Artinya:
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan
dan sekitarnya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1.
Cahaya makrifatnya tidak
memadamkan cahaya wara’nya.
2.
Tidak meyakini ilmu
bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3.
Banyaknya nikmat yang
dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai
merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.[5]
C.
Jalan Ma’rifat
Menurut Al-Qusyairi ada
tiga yaitu:
1)
Qalb ( اَلْقَلْبُ ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
2)
Ruh (اَلرُّحُ ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3)
Sir ( اَلسِّرُّ ) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir
lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping
sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan
aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan,
tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya
dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi Sir ( اَلسِّرُّ )bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( اَلرُّوْحُ )sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima
pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan
tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan
cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya (
orang Sufi ) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada
pada tingkat “Ma’rifah”. Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah
kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin
banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi
semakin dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan
mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak
terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada cahaya tuhan
ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli yaitu mengosongkan diri sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat
melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab
(penutup) sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.[6]
D.
Macam-macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya,
bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat,
dan kedua Ma’rifat Laduniah.
1. Ma’rifat
Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat
yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang
dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama,
yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam
arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari
ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan
untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama. Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama. Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya : “Serulah Allah atau Rahman. Mana
saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang
baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan
sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya salik
(muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan
secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan proses perjalanan
ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan
secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber
Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para
sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan
al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah
Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah
mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari
maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat
lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat
ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia
Allah, arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga
salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk
Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang
dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan
mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ
َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah
dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli
Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan
itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka
yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara
tersebut berupa Penycian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus melakukan
penyucian jiwa terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat yang merupakan
hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode
mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan,
salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh
jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari
akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang
terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang
tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam
kondisi Ma’rifat
Adapun fase-fase yang
harus ditempuh kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan
amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan
murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan
dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah
riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada
mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin untuk menambah kuatnya
kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu
duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca
cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih
dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana
kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat menyaksikan langsung
yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini,
sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur
kehadiran”
2.
Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung
dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya
langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan
melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada
nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat
laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang
diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara
langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat
Laduniyah.
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً
مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف : 65
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari
sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi
: 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim
Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah
al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan.
Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan
duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide
itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya
persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu
laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat
dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah
hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah
payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian
buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti
halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber
asli dari segala ilmu yang tersurat di lauh mahfudz. Penghayatan Kasf dan
Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang
erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran
Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu
semata-mata untuk memasuki hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau
hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat
lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada
Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya
sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ
اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ
بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan
menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu
Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai kebesaran dan keluhuran-Nya
dengan melakukan dzikir dan Ibadah. Ibadah yang dilakukan dengan anggota
lahir sebagai persaksian mengenai keagungan dan keluhuran-Nya, dan dzikir
yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.[7]
E.
Manfaat Ma’rifat
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan
Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah.
Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam
belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja
sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak
menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah
aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar,
dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian,
hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita
tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak
tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim
wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu,
kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut
kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat
itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya
diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya
bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat
kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga
kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang
benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan
hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan
dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan
tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak
akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu
optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan
seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti
kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali
dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan
maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang
ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan
pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang
tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki
kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah,
berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia
untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu
diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia
itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah
dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh
anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk
mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang
irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan
secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh
manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha
kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas
anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.[8]
F. Tokoh
Ma’rifat
Dalam litelatur
tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu
al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.[9]
Al-Gazali mengakhiri
masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya
untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah
“Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan
Madinah.
Mengakhiri hidup
menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun
lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap
beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya
ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada
khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham
yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul
dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya,
sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali
hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini,
Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik
sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan
pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup
berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan.
Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan
hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga
timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi.
Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku
singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat
untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan
tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan
yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul
Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin
Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Pada 499 H = 1105 M,
Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang penuh bangga sebagai
seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan kemenangan dari suatu
pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: “Malik
Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud, was in turn succeeded by his
eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar,
gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister,
and he, true to tradition of his illustrious melalui jalan yang aneh-aneh.
Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya
meninggalkannya, dan ia menyilakan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu
teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah,
dan ada suara yang menjawab, “Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu,
legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara doa-doa yang
tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut
malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan,
manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang
yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku
sendirian bersama Engkau.”
Doa lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka
bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan surga
jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka
janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu.[10]
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak
diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun
246H/865M.[11]
Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan,
yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut
terpalingkan dari jalan yang benar.[12] Dalam
sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta
mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul
ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya. Pada
saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang
mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan
memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui
ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian
menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu
tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia
biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah
tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini
mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua
tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan
pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam
penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi
didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan
melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan
mengetahui cirri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa
bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau
rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari
segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk
dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari
pada berpisah dari sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang disampaikan,
Dzunnun ternyata banyak membawa dampak dan inspirasi bagi ulama’ sesudahnya.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa, Ahmad.
2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Tebba, Sudirman. 2006. Merengkuh
Makrifat Menuju Ekstase Spiritual. Jakarta: Pustaka Irvan.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf
Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Renard, John. 2006. Mencari
Tuhan Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung: Mizan.
Http://fadilhafiz.multiply.com/reviews/item/16?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem diakses pada tanggal 10/05/2012.
Hasan F Abdillah. 2004. Tokoh-tokoh
Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.
[1] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi
al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 303.
[2]
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 254.
[3] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase
Spiritual, (Jakarata: Pustaka Irvan: 2006), h. 161.
[4] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 260.
[5] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase
Spiritual, (Jakarata: Pustaka Irvan: 2006), h. 162.
[6] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi
al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 306-307.
[8] http://fadilhafiz.multiply.com/reviews/item/16?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem diakses pada
tanggal 10/05/2012.
[9] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi
al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 309.
[10] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 271.
[11] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam,
(Surabaya: Jawara, 2004), h. 137
[12] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi
al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 310.
[13] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam,
(Surabaya: Jawara, 2004), h. 137-138.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking