Maandag 29 April 2013

Studi Qur'an: MUNASABAH


MUNASABAH AL-QURAN
Tugas Untuk Memenuhi Mata Kuliah
“Studi al-Qur’an”












Oleh :
Muhammad Badruttamam              (D01211061)
Lifatul Jannah                                   (D01211058)


Dosen Pembimbing:
Dr. Ach. Yusam Tobroni, M.Ag



FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

2012



A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sekaligus merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara mutawattir (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.
‘Ilm Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup penting dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).
















B.     Pengertian

Menurut Imam al-Zarkasyi kata munasabah seacara bahasa adalah mendekati (muqarabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munasabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munasabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat
Jadi arti munasabah menurut ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an. Ilmu ini menjelaskan tentang segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat al-Qur’an.[1] Munasabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.[2]


C.    Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah
Berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarka fakta kronologis turunnya al-Qur’an. Itulah sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ salaf tentang urutan surat di dalam al-Qur’an. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama’ salaf yang urutan suratnya berfariasi. Atas dasar perbedaan sistematika itulah wajar jika masalah teori korelasi (munasabah) al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama’ yang menekuni Ulumul al-Qur’an.
Menurut as-Sharahbani, seperti dikutip az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan, ulama’ yang pertama kali menaruh perhatian terhadap masalah ini adalah Syaikh Abu Bakar an-Naisaburi. Namun kitab tafsir an-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang. Sebagaimana dinyatakan adh-Dhahabi, besarnya perhatian an-Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan as-suyuti yaitu;
“setiap kali ia (an-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila dibacakan al-Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? Beliau mengkritik para ulama’ Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”
Tindakan an-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak ilmu munasabah. Dalam perkembangannya, ilmu munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu al-Qua’an. Ulama’-ulama’ yang datang kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah secara khusus.[3]

D.    Macam-macam Munasabah Dalam Al-Qur’an
Munasabah atau persambungan antara bagian al_Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
1.      Dari Segi Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
a.       Persesuaian yang nyata (Dzaahiru  al-Irtibath)­ atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu persesuaian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsiran, penyambung, penjelasan pengecualian, atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama.
Contohnya, persambungan antara ayat pertama surat al-Isra’:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya:Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Ayat tersebut menerangkan perjalanan isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya ayat kedua dari surat al-Isra’:
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وكِيلا
 Artinya: “Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel (dengan firman): Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku”.

Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.

b.      Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyu al- Irtibath) atau samarnya persesuaian antara bagian al-Qur’an dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik kerena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat 190 surah al-Baqarah. Ayat 189 surah al-Baqarah tersebut berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.

Ayat tersebut menerangakan  bulan sabit / tanggal-tanggal untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.


Sedangkan ayat 190 surat al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu denga yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 mengenai soal waktu haji, sedangkan ayat 190 menjelaskan bahwa sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.[4]

2.      Dari Segi Materi Munasabah
Jika dilihat dari segi materinya, maka munasabah mempunyai beberapa macam, yaitu:
a.       Munasabah antara surah dengan surah lain
Surah-surah Al Qur’an mempunyai munasabah kerena surah yang datang kemudian menjelaskan topik yang jelas disebutkan secara umum dalam surah sebelumnya. Sebagai contoh, surah al-Baqarah memberikan perincian dan menjelaskan bagi surah al-Fatihah. Surah Ali Imran  juga merupakan surah berikutnya memberi penjelasan lebih lanjut tentang kandungan surat al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk tema pokok dari berbagai surah, contoh: ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama dan dasar-dasar agama. Ini semua merupakan tema-tema pokok dari surah al-Fatihah, al Baqarah, dan Ali ‘Imran. Ketiga surah ini saling mendukung tema pokok tersebut.
b.      Munasabah antara nama surah dengan kandunganya
Nama-nama surah yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki kaitan dengan topik yang ada dalam isi surah. Surah al-Fatihah disebut juga Umm al-Kitab kerana ia memuat berbagai tujuan Al Qur’an.
c.       Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah yang sama
Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek, contohnya: surah al-Ikhlas, tiap-tiap ayat yang terdapat dalam surah itu menguatkan tema pokoknya yaitu tentang keesaan Tuhan.


d.      Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan antara satu sama lain
Keadaan ini bisa didapati dalam berbagai keadaan, antara lain: munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat. Munasabah disini bertujuan penguatan, misalnya firman Allah;
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, meraka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan. Dan Allah adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
Sekiranya ayat ini terhenti pada “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”, niscaya makna yang boleh difahami oleh orang-orang lemah sejalan dengan pendapat orang-orang kafir yang menyangka bahwa mereka mundur dari medan perang kerana angin yang kebetulan bertiup. Padahal, bertiupnya angin bukan suatu kebetulan, tetapi atas rencana Allah mengalahkan musuh-musuh-Nya dan musuh kaum Muslim. Karena itu, ayat-ayat ini ditutup dengan mengingatkan kekuatan dan kegagahan Allah SWT menolong kaum Muslim.
Situasi yang lain pula adalah seperti munasabah antara akhir satu surah dengan awal surah berikutnya. Munasabah ini dapat dilihat misalnya pada surat Al-Qashash. Permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, diakhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Mekkah. Di awal surat, larangan menolong orang yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabah disini terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapatkan jaminan dari Allah SWT.

e.       Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam satu surah
Munasabah antara kalimah dalam Al Qur’an ada kalanya memakai huruf athaf (kata hubungan) dan ada kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf athaf (kata hubung) biasanya mengambil teknik tadhâd (berlawanan). Misalnya pada ayat:
Artinya: “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya”
dan ayat:
Artinya: “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) serta kepada-Nyalah kamu dikembalikan”
Kata (masuk dan keluar) dan (menyempitkan dan melapangkan) dinilai sebagai hubungan berupa perlawanan.

Sementara itu munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf (penghubung), sandarannya adalah qarinah maknawiyyah (indikasi maknawi). Aspek ini boleh muncul dalam beberapa bentuk, contohnya:
a) Menerangkan keadaan yang berlawanan seperti yang terkandung dalam firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja engkau beri peringatan mereka atau tidak engkau beri peringatan mereka tidak akan beriman”
Munasabahnya adalah bahawa ayat ini menerangkan watak orang kafir, sedangkan beberapa ayat sebelumnya menerangkan watak orang mukmin.
b) Menyatakan peralihan topik kepada penjelasan lain. Firman-Nya:
Artinya: “Wahai anak-anak Adam! Sesungguhanya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa adalah yang paling baik. Demikian itu merupakan sebahagian dari tanda-tanda(kekuasaan) Allah mudah-mudahan kamu selalu ingat”
Ayat ini menjelaskan nikmat Allah, sedang ditengahnya dijumpai sebutan pakaian taqwa yang mengalihkan perhatian untuk menyadari betapa unsur taqwa terdapat juga pada cara berpakaian.

E.     Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini sangat banyak, antara lain sebagai berikut:
1.      Mengetahui hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau  ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemu’jizatan. Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu Munasabah itu ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul, baik dari awal maupun dari akhir.
2.      Dengan ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghaan al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat atau surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih yakin bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan nabi Muhammad SAW. Karena itu, imam Fakhruddin ar-Razi mengatakan, bahwa keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya.
3.      Dengan ilmu Munasabah akan dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, setelah diketahui hubungan satu dengan yang lain, sehingga sangat mempermudah penafsiran hukum-hukum atau isi kandungannya.[5]


[1] Abdul Jalal, Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2010), cet.III, h. 154.
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 215
[3] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 218-219
[4] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), cet. III, h. 155-157
[5] Ibid. h. 164-165

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking