ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu”
Disusun oleh:
Muhammad Badrut Tamam D01211061
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Moh. Sholeh, M. Pd
JURUSANPENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTASTARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNANAMPEL
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
adalah hamba Allah yang diturunkan ke bumi ini sebagai penghuninya. Manusia
adalah makhluk Allah diberi kelebihan berupa akal daripada makhluk-makhluk
lainnya. Dengan akalnya itu manusia bisa berbuat lebih daripada makhluk lainnya.
Pada awal penciptaannya, manusia
hanyalah makhluk yang tidak tau apa-apa dan karenanya manusia membutuhkan
sebuah petunjuk bagi jalan hidupnya. Manusia memerlukan guideline agar hidupnya
selamat di dunia dan di akhirat. Guideline bagi manusia adalah agama. Agama
adalah petunjuk hidup, melingkupi seluruh aspek dalam diri manusia, termasuk
ilmu pengetahuan.
Begiitu
banyak penemuan-penemuan ilmiah terbaru di abad modern ini ternyata sudah
ditegaskan oleh Al-Qur’an sejak belasan abad lampau. Dengan
adanya bukti ilmiah yang sesuai dengan kitab suci, maka dapat diketahui bahwa
sesungguhnya agama selaras dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara agama
dengan ilmu pengetahuan.
Agama tidak mengekang ilmu
pengetahuan. Agama hanyalah mengatur agar ilmu pengetahuan tidak melewati
batas-batas norma dan etika yang adanya. Di dalam agama, untuk hal-hal yang
sifatnya bukan ibadah umum terdapat kaidah ”segala hal itu diperbolehkan
kecuali yang dilarang.” Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat terus berkembang
dan bermanfaat bagi umat manusia.
B. Pokok pembahasan
1.
Pengertian Ilmu
Pengetahuan dan Agama.
2.
Hubungan Antara Ilmu
Pengetahuan dan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Agama
1.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Dalam kehidupannya manusia banyak mendapat
pengalaman. Dari pengalaman itu didapatkan sejumlah pengetahuan yang memiliki
sifat keajegan tertentu tanpa kemampuan untuk menjelaskan sebab-sebabnya secara
terinci dan rasional. Pengetahuan demikian banyak macamnya dalam kehidupan ini.
Tiap manusia berbeda jumlah dan macamnya pengalaman yang dimiliki tersebut,
tanpa ada kemampuan untuk menjelaskannya. Kalau ingin mampu memberikan
penjelasan, maka masih diperlukan kegiatan yang lebih intens untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih utuh dari pada umumnya pengetahuan yang ada.untuk itu
perlu didukung oleh sejumlah kegiatan berikutnya yang lebih serius guna
mendapatkan intisari tersebut hingga dapat dipedomani untuk perencanaan, prediksi-prediksi,
maupun kontrol atas kebenarannya.
Kombinasi usaha mencari pendekatan rasional
dan pengumpulan fakta-fakta empiris inilah yang biaasa disebut dengan
pendekatan mendapatkan pengetahuan dengan metode keilmuan. Melalui metode
keilmuan akan didapatkan ilmu dari sejumlah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri
tertentu sebagai pembeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang belum
teruji. Jadi ilmuadalah pengetahuan yang memenuhi ciri-ciri tertentu dan
istilah yang dibakukan menjadi “ilmu = ilmu pengetahuan”, yang kedua terminologi tersebut digabung menjadi
satu kata. Dapat dirumuskan juga bahwa ilmu ialah sebagai pengetahuan yang
ilmiahdan umum digabung menjadi ilmu pengetahuan secara langsung.
2.
Pengertian agama
Kepercayaan terhadap yang
abstrak
B. Hubungan
antara ilmu pengetahuan dan agama
1. Pandangan
Islam Terhadap IPTEK
Agama
islam banyak memberikan penegasan mengenai ilmu pengetahuan baik secara nyata
maupuan tersamar, seperti yang tersebut dalam surat al-mujadalah ayat 11
sebagai berikut :
“Allah akan mengangkat orang-orang
beriman diantara kamu sekalian yang berilmu pengetahuan beberapa drajat.”
Maksudnya
sebagai berikut: sama-sama dari golongan beriman mak allah masih akan
meningkatkan derajat bagi mereka, ialah mereka yang berilmu pengetahuan.
Tersebut juga dalam surat al-alaq ayat
1 sampai 5:
“Bacalah dengan menyebut nama
tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan dari segumpal darah. Bacalah
dan tuhanmu lah yang maha pemurah. Yang mwngajar manusia dengan perantara
kalam. Dia megajarkan kamu apa-apa yang tidak diketahui.”
Jelas
bahwa pada prinsipnya kita diperintah oleh allah untuk membaca bukan saja membaca
secara sempit atau membaca secara harfiah. Makna membaca diatas adalah membaca
kalam allah yang tergores dalam alam semesta.
Orang
berilmu pengetahuan berarti menguasai ilmu dan memiliki kemampuan untuk
mendapatkan dan menjelaskannya. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan
antara lain adanya sarana tertentu yakni yang disebut “berpikir”. Jelasnya
berpikir pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan.
Oleh
karena itu, apabila didalam al-qur’an sering-sering disebut dengan kata-kata
“berpikir” atau “berpikirlah” dan sebagainya. Dalam arti langsung maupun sindiran,
dapat kita artikan juga sebagai perintah untuk mencari atau mengusai ilmu
pengetahuan.
Dalam
al-qur’an dan al-hadits sangat banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang
hubungan antara ajaran islam dan ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya yang kita sebut iptek.
Hubungan tersebut dapat berbentuk semacam perintah yang mewajibkan menyuruh
mempelajari pernyataan-pernyataan, bahkan da yang berbentuk sindiran dan
sebagainya.
Kesemua
itu tidak lain adalah menggambarkan betapa eratnya hubungan antara islam dan
ilmu pengetahuan sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan. Demikia juga tiap
tindakan keilmuan mempunyai tujuan dan niata. Sebagaimana niat sangat
menentukan. Apakah suatu tindakan kegiatan itu dibenarkan atau tidak,
dibolehkan atau tidak, hanyalah dapat ditentukan menggunakan parameter tunggal
ialah niat.
Untuk
melaksanakan perintah islam seperti naik haji, mengusai dan mengambil manfaat
isi bumi untuk kesejahteraan manusia, untuk menentukan disaat mulainya puasa
ramadhan dan mengakhirinya dan sebagainya, hanya dapat sempurna bila ditopang
dengan iptek.[1]
2. Manusia
Alam Dan Tuhan, Menyepadukan Sains Dan Agaama
Penerapan
sains dalam dunia modeern telah menghasilkan banyak teknologi yang membbuat
kehidupan manusia lebih sehat, lebih nyaman, dan lebih aman. Sementara itu
sains juga merupakan salah satu jalan untuk mencari kebenaran, yaitu kebenaran
objektif. Walaupun begitu, sains cenderung menjadi otonom sehingga karenanya ia
lebih sering dipandang sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran.
Sebagai
akibatnya kita sering menghadapi perbenturan antara sains dan agama di bidang
teologi. Persoalannya, sains sebenarnya hanya berbcara tentang realitas
objektif tentang alam dan manusia. Padahal sesungguhnya agama berbicara tentang
manusia seutuhnya, yaitu tubuh dan ruh, dan alam seluasnya, yaitu alam nyata
dan alam gaib, serta kenyataam seluruhnya, yaitu alam beserta tuhan yang
mencipta. Jadi sebenarnya terdapat perpotongan antara keduanya, yait pada
masalah alam dan manusia. Tak ada pertentangan antara keduanya.
Namun
dalam perjalanan sejarah beberapa abad setelah reinaisans, revolusi sains,
diikuti oleh revolusi industri, pengetahuan ilmiah kita tentang diri dan alam
lingkungan kita telah berubabh secara tajam. Sayangnya gambaran baru itu untuk
banyak orang cenderung menegasikan gambaran yang diberikan oleh teologi
agama-agama dunia yang manapun. Karena itulah agama makin ditinggalkan.
Begitulah kejadiannya.
Hal
ini terjadi jika kita hanya melihat di tataran pemukaan. Padahal seharusnya
kita melihat bahwa sebenrnya telogi hanyalah merupakan konstruksi intelektual
manusia yang mencoba memahami pesan-pesan religius para nabi. Dengan demikian
kita harus berani menghadapkan teologi dengan sains dan membuat keduanya berkembang
secara dealektis dan komplementer untuk memecahkan permasalahan umat manusia
yang ditimbulkan oleh penerapan sains yang maju itu.
Ian
barbour misalnya adalah seorang pemikir yang sangat sadar akan hal itu. Oleh
karena itu dia selalu memetakan hubungan sains dan agama. Menurutnya antara
sains dan agama terdapat empat bagian varian hubungan: konflik, independensi,
dialog, dan integrasi. Dalam hubungan konflik, sains menegasikan eksistensi
agama dan agama menegasikan sains. Masing-masing hanya mengakui keabsahan
eksistensi dirinya.
Sementara
itu dalam hubungan independensi, masing-masing mengakui keabsahan eksistensi
yang lain dan menyatakan bahwa diantara sains dan agama tak ada irisan satu
sama lainnya. Sedangkan dalam hubungan dialog, diakui bahwa antara sains dan
agama terdapat kesamaan yang dapat didialogkan antara para ilmuwan dan
agamawan, bahkan bisa saling mendukung.
Ian
barbour memilih hubungan yang keempat, yaitu integrasi. Dia menyatakan bahwa
ada dua varian integrasi yang menggabungkan agama dan sains. Yang pertama
disebutnya sebagai teologi natural (natural theology) dan yang kedua yang
biasanya disebut sebagai teologi alam (theologi of nature). Pada varian teologi
natural , menurut barbour, teologi mencari dukungan kepada penemuan-penemuan
ilmiah, sedangkan pada varian teologi alam, pandangan teologis tentang alam
justru harus dirubah, disesuaikan dengan penemuan-penemuan sains yang mutakhir
tentang alam.
Barbour
sendiri nyatanya merasa bahwa varian kedua ini yaitu teologi alam, sebagai yang
paling benar dan karena itu dia menganutnya dengan setia. Oleh karena itu
barbour mengamati dengan cermat rekonstruksi konsepsi teologis yang sedang
terjadi dikalangan pemikir-pemikir agama. Dia memerhatikan bagaimana para
teologi itu mencoba itu membuat sintesis teologis baru yang menurut mereka
lebih baik dari pada teologi tradisional. Namun, pengamatannya itu dibatasi
pada teologi kristen.[2]
3.
Agama, Ilmu Dan Masa Depan Manusia
Agama dan ilmu dalam berberapa hal berbeda,namun pada
sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moalitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual), Cenderung eksklusif, dan subjektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru, Tidak terlalu terikat dengan etika,
Progresif, bersifat inklusif, dan objekif.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada
janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus
kemudahan bagi kehidupan didunia. Agma mendorong umatnya untuk menuntut ilmu,
Hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak
mugkin. Agama dan ilmu sama – sama memberikan penjelasan ketika terjadi bencana
alam, Sepeti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama adalah cobaan
Tuhan dan sekaligus rancangannya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena
itu, Manusia harus bersabar tentang percobaan tersebut dan mencari hikmah yang
terkandung di balik setiap bencana.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat
dalam konteks yang beseberangan, Tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana
keduannya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak.
Contohnya ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran
yang global, Yang juga sering disebut dengan era informasi, Tetapi kehidupan
yang global itu pula yan menyengsarakan sebagian besar penduduk dikuli bumi
ini.
Namun, di sisi lin manusia semakin tergantung pada
teknologi, Seperti teknologi informasi, Sehingga tidak mampu lagi membedakan
antara yang benar – benar nyata dan hasil rekyasa, Termasuk rekayasa informasi.
Katakanlah informasi yang cepat tentang tsunami di aceh, Begitu cepat menyebar
keseluruh dunia, sehingga denagn sepontan terjadi solidaritas global.
Solidaritas global ini sebenarnya buah dari rekayasa informasi yang begitu
dahsyat.sebab, dalam waktu yang bersamaan semua televisi mnayangkan kejadin
yang amat mengerikan dan menyentuh rasa kemanusiaan. Padahal, wilayah Aceh yang
tidak kena musibah ada jauh lebih menderita daripada yang berada di wilayah
tsunami. Persoalannya, mereka tidak diinput oleh media informasi, sehingga
tidak ada solidaritas untuk membantu penderitaan mereka. Inilah contoh betapa
dahsyatnya kekuatan sebuah rekayasa informasi.
Teknologi ternyata didasari atau tidak menciptakan
sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami
degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjara ilmu dan teknologi itu dalam satu
kerangkeng tertentu. Contohnya, televisi adalah bentuk dari kerangkeng
teknologi informasi karena ketika informasi masuk dalam kotak yang bernama
televisi, makapada waktu itu teknologi informasi menjadi budak bagi kepentingan
kotak tersebut.
Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada
gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang
membelenggu manusia sendiri. Nicolas Berdyev dalam bukunya The Destiny of
Man berucap:
“Technical progress testifies not only to man’s
strength and power over nature; it not only liberales men but also weakens and
enslaves him; it mechanizes human life and give man the image and semblance of
machine.”
“Kemajuan teknik tidak saja membuktikan kekuatan serta
daya manusia untuk menguasai alam, kemudian teknik itu tidak saja membebaskan
manusia, tetapi juga memperlemah serta memperbudaknya, kemajuan itu
memekanisasikan manuisa dan menimbulkan gambaran serta persamaan manusia dengan
mesin.”
Jelas bahwadi satu sisi teknologi menjadi penjara bagi
manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepenting
manusia. Teknologi layar seakan-akan telah memenjarakan manusia karena dia
tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang
bersamaan manusia memanfaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak ada heran,
bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa puluh inci disesaki oleh
berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ, pasar, politik, ekonomi,
masjid, geeja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para
penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan itu untuk menccari untung
sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan
dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan
dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religius yang unspeakable
dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis
sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno”memiliki apresiasi
terhadap kehidupan yang lebih dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria
dan mulia; sedangkan “agama modern" mewakili sikap egoistis manusia
terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan,
sekadar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan
merugikan dan merusak makna agama itusendiri. Di satu pihak, penerapan
rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi
agama agar sesuai dengan kemajuan zaman, atau berpretensi untuk membersihkan
agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekadar pelayan
materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang
speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah
rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di
pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasi secara paksa karena hanya akan
memuaskan perasaan manusia belaka. Visualisasi yang bagaimanapun tentang Tuhan
hanya menghasilkan patung Tuhan.
Agama sendiri merupakan faktor utama dalam mewujudkan
pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut mempengaruhi
perkembangan dunia itu sendiri, dan dengan cara demikian juga mempengaruhi
jalannya sejarah. Persepsi-persepsi itu menentukan pula cara manusia
menundukkan dirinya di dunia ini. Sebaliknya sejarah juga memaksakan perubahan
dan penyesuaian terus-menerus pola-pola persepsi itu tadi, terutama pada
masyarakat yang sedang berubah dengan pesat.
Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”,
tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi
persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik
tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya
dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik. Dalam
setiap agama ada pengorbanan yang jauh lebih mulia jika dilakukan demi mencapai
masa depan yang lebih baik. Mati syahid dalam Islam adalah bentuk dari suatu
kematian yang diharapkan karena seseorang yang mati syahid akan langsung
masuksurga tanpa melalui hisab. Dalam beberapa sekte agama Kristen ekstrem
kematian yang dipercepat mampu mengantarkan seseorang langsung menuju surga.
Dalam agama-agama pandangan mengenai hari depan tidak
seragam. Ada yang berpandangan bahwa tujuan akhir kehidupan ini adalah Nirwana,
yakni ketiadaan dan dalam ketiadaan itu sifat dan keinginan kemanusiaannya
hilang. Ketika manusia masih memiliki keinginan, dia akan kembali ke dunia
dalam bentuk lain. Namun, jika dia mampu menghilangkan semua sifat dan
keinginannya, saat itulah tujuan dan kesempurnaan hidup trcapai. Ada juga yang
berpandangan bahwa ada kehidupan yang lebih abadi dan tenang di alam sana
sehingga bagi orang yang sudah membekali dirinya untuk berangkat ke alam sana
tidak akan takut menghadapi mati. Ibarat prajurit yang akan pergi perang, semua
persiapan sudah lengkap sehingga dia amat pecaya diri menghadapi musuh.
Dalam kerangka itu, agama dan ilmu memiliki kesamaan,
yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desain agama lebih jauh dan
abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama
untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan
teknologi untuk hidup masa depan di dunia ini. Penemuan uap dan listrik adalah
bagian dari persiapan untuk anak cucu James Watt dan Thomas Alfa Edison. Mereka
sendiri tidak lama menikmati hasil karyanya, kalaupun dinikmati tidak maksimal dan
tidak sama dengan apa yang kita nikmati sekarang.
Dalam pandangan agama, ilmu, dan teknologi bukan
merupakan aspek kehidupan umat manusia yang tertinggi. Tidak juga merupakan
puncak kebudayaan dan peradaban umat manusia di dalam evolusinya mencapai
kesempurnaan hidup (perfection of existence). Banyak kaum rasionalis
yang materialistis menganggap bahwa abad modern, abad ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang adalah puncak dari peradaban dan kebudayaan manusia. Karena
dengan akalnya yang tajam manusia modern dapat menghasilkan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sangat mengagumkan, dan menganggap manusia zaman dahulu
adalah lebih rendah peradaban dan kebudayaannya karena terlalu diliputi oleh
kehidupan yang tidak rasional, takhayul, dan terbelenggu oleh kepercayaan agama
yang dogmatis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai rasio (akal) yang
tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana
masing-masing untuk membuktikan kebenarannya dan menghayati hakikatnya. Ilmu
pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang
akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam
ketimpangan dan pencemaranfisik, biologi, sosial, dan budaya.
Dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk pembangunan,
maka demi menjaga keseimbangan antara teknologi, pembangunan, dan lingkungan
kita tidak boleh dihinggapi penyakit rabun dekat dan mengikuti naluri untuk
hanya memikirkan hasil-hasil jangka pendek. Keuntungan semu jangka pendek tidak
mustahil dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan
kerugian dalam jangka panjang. Maka, asas keseimbangan harus diterapkan karena
memang dalam gejolak dan derap pembangunan senantiasa kita dihadapkan kepada
krisis nilai-nilai insani dan masalah untuk memanusiakan manusia itu sendiri;
problema manusia tersebut tidak menjadi alat atau korban dari ciptaannya
sendiri, masalah des soushommes dan des super-machines menurut istilah A.
Kaufman dan J. Peze.
Sebagaimana
Negara Amerika Serikat yang maju dan makmur telah terjadi krisis kepribadian
atauu identitas karena derap teknologi lebih banyak mengancam status dan
peranan manusianya daripada pekerjaannya. Ancaman otomasi adalah sebagian dari
krisis identitas tersebut. apabila mesin-mesin itu bukan hanya dapat
menggantikan manusia, tetapi bahkan dapat melakukan pekerjaannya secara lebih
baik dan lebih murah.
Kemajuan
ilmu pengetahuan yang secara global ini, umat manusia senantiasa dihadapkan
pada peperangan. Namun, sejak berakhirnya Perang Dunia II sifat peperangan
telah berubah sedemikian drastisnya sehingga masa depan umat manusia dan masa
depan generasi-generasi yang belum dilahirkan
menghadapi bahaya yang amat gawat. Potensi berbagai senjata nuklir, kimiawi,
biologis, dan bahkan senjata konvensional, dengan berbagai alasan politis dan
komersial, semakin meningkatkan ancaman baru bagi kehancuran global.
Akibat dari penggunaan senjata nuklir, kimiawi, biologis,
dan sebagainya secara besar-besaran akan menimbulkan perubahan-perubahan
ekologis dan genetik tak terpulihkan yang batas-batasnya tidak dapat
diramalkan. Maka, ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar tidak berdaya
untuk mempersembahkan kepada dunia satu pun penangkal yang mujarab. Tidak ada
prospek untuk dapat membuat suatu pertahanan yang cukup berdaya guna untuk
melindungi wilayah pemukiman. Tidak ada prospek untuk mencegah penghancuran
segala dasar budaya, sosial, ekonomi, dan industri dari suatu masyarakat. Juga
tidak ada satu pun sistem medis yang akan dapat menanggulangi akibat
penghancuran massal yang masif itu.
Para ilmuwan dan teknolog diimbau membantu mencegah
penyalahgunaan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai pembinaan massal. Dan
pada hakikatnya, semua orang yang berakal sehat diimbau untuk beri’tikad baik
dalam menghadapi problema bahaya perang nuklir
yang senantiasa mengancam kehidupan kita di dunia. Semua perbedaan
pendapat, termasuk perbedaan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan agama, hendaknya dapat diletakkan dalam perspektif yang serasi dan
tepat guna. Sasaran imbauan adalah segenap manusia-manusia di balik ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk tidak mengembangkan, memproduksikan, dan
menggunakan senjata nuklir. Para penanggung jawab utama keselamatan bangsa dan
negara diimbau untuk tidak melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemahaman kita tentang genetika telah mengguncang dunia.
Teknologi genetik menghadirkan tantangan terbesar bagi keyakinan agama
tradisional. Penguraian kode genom manusia, serta dukungan filosofis untuk
upaya tersebut, memaksa untuk dilakukannya pengkajian ulang serta mendalam tentang
makna menjadi manusia. Teori determinisme genetika bahwa gen kita menentukan
bukan wujud fisik saja, tetapi juga kecenderungan seksual, tingkat agresi, dan
ada kemungkinan kecenderungan keagamaan kita menyebabkan para teolog mengkaji
pemikiran mereka mengenai kehendak bebas, kebutuhan Tuhan manusia akan agams,
bahkan keberadaan Tuhan.
Adanya tantangan mendalam terhadap ortodoksi agama dan
adanya konsekuensi kedigdayaan teknologi genetika, maka sangat penting dan
kritis bagi kita untuk mendengar pandangan dan pikiran para teolog dan filosof
dari berbagai agama. Seperti kata biolog W. French Anderson, bahwa “Teknik yang
hebat mempunyai segi buruk yang hebat pula.” Donald Shriver, presiden emeritus
pada Union Theological Seminary di New York dan guru besar Emeritus di bidang
etika di Columbia University, berpendapat bahwa “karena kita tidak memiliki
kearifan untuk mengenai konsekuensinya, tak dapat ditawar lagi, kita harus
waspada manakala konsekuensi itu mulai muncul.” Lebih jauh dia menekankan bahwa
“sebagai manusia, kita tentu tak akan luput dari berbuat kesalahan. Demikian
juga dengan masyarakat. Namun, sifat baik manusia adalah bisa memaafkan
kesalahan dan sekaligus bisa menggunakan kesempatan untuk mencoba lagi untuk memperbaikinya.
Agama sering sekali menyebut ihwal peluang kedua yang tampaknya dapat diberikan
oleh Tuhan kepada kita, manusia.”
Para pemuka agama Kristen, Yahudi, dan Islam menawarkan
konteks untuk direnungkan oleh komunitas ilmiah. Menurut para ilmuwan, laju
inovasi teknologi agak sulit diramalkan. Dalam simposium di UCLA, Mario
Caphecchi-guru besar yang amat menonjol dalam bidang biologi dan genetika
manusia di U niversity of Utah mengatakan, “Biasanya kita cenderung
melebih-lebihkan apa yang dapat kita kerjakan dalam 25 tahun mendatang.” Selain
itu, terdapat kekhawatiran dari sudut etika yang mendalam bahwa berbagai
teknologi ini bisa terpeleset dari terapi menjadi sekedar gaya, sebagaimana
teknologi rekonstruksi yang mula-mula dikembangkan untuk menolong prajurit yang
terluka di medan perang menjadi bedah kecantikan. Di kalangan teolog, ilmmuwan,
dan ahli biotika berkembang rasa muak yang meluas terhadap gagasan mengubah
manusia secara genetik hanya dengan dalih “perbaikan” yang bersifat
superfisial, namun tidak ada kesepakatan mengenai apakah dapat ditarik garis
pembatas yang jelas antara penyembuhan penyakit dan perbaikan penampilan.
Menurut Gookin, “Kewajiban moral dan estetika para
seniman untuk menyempurnakan citra tubuh manusia dalam seni kini telah
dialihkan ke bidang ilmu genetika. Dengan genetika, para ilmuwan diberi piranti
yang dapat mereka gunakan untuk menerapkan konsep ‘perbaikan’ estetika dan
moral terhadap organisme manusia itu sendiri.”
Dalam upaya memisahkan kepingan genetik dari DNA (Deoxyribonucleic Acid) dan
merekombinasikannya lagi dengan yang lain dapat mengubah “instruksi” yang
menguasai sel hidup. Maka, dengan menempatkan molekul DNA dari tubuh kita ke
dalam bakteri dapat diproduksikan secara alamiah zat-zat untuk menanggulangi
berbagai penyakit, seperti produksi insulin untuk diabetes, dan interferon yang
mungkin dapat turut memerangi kanker. Masalah perekayasaan genetik ini bersifat
multikompleks, yang untuk beberapa isu dan berbagai tempat di dunia masih
diperdebatkan orang. Namun, dari perpaduan antara biologi dan teknologi itu
kian terbuka wilayah baru bioteknologi. Spektrum yang dicakup oleh bioteknologi
sangat luas, mulai dari yang sederhana hingga yang amat bersofistikasi atau canggih.
Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana
juga agama. Di dunia Barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam
fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira
bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekedar untuk mengkajidan mengukur benda
secara empiris. Padahal sesungguhnya ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya
menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya
untuk berfikir secara filosofis. Mereka
hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi.
Sinergi agama dan ilmu dalam konteks ini dapat dilakukan
demi terwujudnya keseimbangan peradaban manusia. Sebab, kalau masing-masing
pihak masih tetap mempertahankan ego, maka masa depan umat manusia tidak dapat diramalkan.
Di sinilah ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari
aspek yang sempit, tetapi harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk
kepentingan kehidupan yang lebih abadi. Kalau visi ini yang diyakini oleh para
ilmuwan dan agamawan, maka harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan
sentosa. Tentu saja pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dukungan dari
berbagai pihak untuk terwujudnya masa depan yang cerah dan harmonis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan yang memenuhi ciri-ciri tertentu dan istilah
yang dibakukan menjadi “ilmu = ilmu pengetahuan”, yang kedua terminologi tersebut digabung menjadi
satu kata. Dapat dirumuskan juga bahwa ilmu ialah sebagai pengetahuan yang
ilmiah dan umum digabung menjadi ilmu pengetahuan secara langsung. Melalui
metode keilmuan akan didapatkan ilmu dari sejumlah pengetahuan yang memiliki
ciri-ciri tertentu sebagai pembeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang
belum teruji. Sedangkan pengertian dari agama adalah Kepercayaan terhadap yang abstrak
Agama islam banyak
memberikan penegasan mengenai ilmu pengetahuan baik secara nyata maupuan
tersamar, seperti yang tersebut dala surat al-mujadalah ayat 11. Jelas bahwa
pada prinsipnya kita diperintah oleh allah untuk membaca bukan saja membaca
secara sempit atau membaca secara harfiah.
Agama dan ilmu dalam berberapa hal berbeda,namun pada
sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moalitas dan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual), Cenderung eksklusif, dan subjektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru, Tidak terlalu terikat dengan etika,
Progresif, bersifat inklusif, dan objekif.
Agama selaras dengan ilmu
pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Agama tidak mengekang ilmu pengetahuan. Agama hanyalah
mengatur agar ilmu pengetahuan tidak melewati batas-batas norma dan etika yang
adanya. Di dalam agama, untuk hal-hal yang sifatnya bukan ibadah umum terdapat
kaidah ”segala hal itu diperbolehkan kecuali yang dilarang.” Dengan demikian
ilmu pengetahuan dapat terus berkembang dan bermanfaat bagi umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Barbour, Ian. 2005.
Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: PT Mizan Pustaka
Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta. 1998. Al-Islam dan Iptek, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking