Maandag 29 April 2013

Filsafat Islam: AKAL


AKAL
Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Islam









Oleh Kelompok 10 :

Darul Faroqi                          (D01211045)
Hayatun Nufus                      (D01211052)
Muhammad Badruttamam  (D01211061)



Dosen Pembimbing:
Drs. Abdul Hamid, M.Ag.



FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

 
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Manusia telah dibekali akal oleh Allah. Dengan akal itu, manusia dapat membentuk peradaban, kebudayaan dan kebutuhan yang mereka perlukan. Bagi mereka yang menggunakan akalnya berarti mereka mau berfikir dan akan mendapatkan petunjuk-Nya. Namun, bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya berarti malas berfikir dan akan tersesat. Seperti yang disebutkan dalam Qur’an Surat Al-Imran ayat 190 yang artinya “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Dengan demikian jelas, bahwa orang-orang yang berakal disini berarti orang-orang yang mampu menahan diri dari berbuat maksiat dan dzalim.
Selain dalam Q.S surat Ali-Imran,dalm surat Al-Baqarah ayat 269 dikatakan yang artinya “siapa yang diberi hikmah oleh (Allah swt) berarti di diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki lubb (akal cerdas)”. Hal ini, menguatkan sekaligus menegaskan bahwa orang yang berakal itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama di dunia. Mengenai akal, tokoh-tokoh yang dikenal sebagai filsuf Islam antara lain Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Berbeda pendapat. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pandangan tokoh-tokoh tersebut mengenai akal.

B.  Rumusan Masalah
1.        Bagaimana Epistemologi akal menurut filosof muslim?
2.        Bagaimana Ontologi akal menurut filosof muslim?
3.        Bagaimana Aksiologi akal menurut filosof Muslim?


C.  Tujuan
Dari makalah yang kita susun diharapkan setelah membaca makalah ini, kita akan memahami bagaimana pandangan para filosof muslim terhadap Akal.




























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Epistemelogi Akal Menurut Filosof Muslim

1.    Al-Kindi
Menurut pandangan Al-Kindi akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, diperole secara Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual
Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali
Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas
Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan

2.    Al-Farabi
Menurut pandangan Al-Farabi untuk dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi.
Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang secara teliti mengupas problem klasik warisan Aristoteles mengenai nalar. Dalam Risalah fi Al-Aql, Al-Farabi memuat enam istilah seputar nalar atau akal.
a.              Nalar yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdik atau cerdas, yang  juga dipakai untuk mengukur “kemasuk akalan”.
b.             Nalar seperti yang dimaksud oleh para teolog ketika membenarkan atau menolak pendapat tertentu (kesepakatan umum).
c.              Nalar yang pernah disebut oleh Aristoteles Analytica Posteriora (arab: kitab Al Burhan) sebagai habitus. Melalui nalar ini, prinsip-prinsip pembuktian diketahui oleh manusia secara intuitif.
d.             Nalar yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam Nicomachean Ethics-nya sebagai “nalar praktis pergumulan panjang manusia,  yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindarinya”.
e.              Nalar seperti yang dibahas Aristoteles dalam De Anima, yang dengan sendirinya mencakup empat bagian, yaitu:
1)         Nalar potensial (materiil) berperan mengabstraksi bentuk-bentuk materiil dari substratum materiil.
2)         Nalar aktual sebagai tempat bersemayamnya bentuk materil hasil abstraksi dari nalar potensial.
3)         Nalar mustafad, tempat yang mewadahi bentuk kawuruhan yang sudah terabstraksi (terbebaskan, terlepaskan) dari materi.
4)         Intelek aktif, yang tertinggi dari semua intelegensi, dapat diibaratkan sebagai perantara adikodrati yang memberdayakan nalar manusia agar dapat mengaktualisasikan pemahamannya. Intelek ini berfungsi bak matahari yang menerangi benda-benda ragawi agar benar-benar bisa dilihat.
f.              Nalar yang disebut oleh Aristoteles dalam Metaphysic, yaitu nalar, intelek, atau fikiran yang berfikir mengenai dirinya sendiri, dan inilah yang disebut Tuhan.[1]

3.    Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina Jiwa manusia, yang disebut juga (القوة الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
a)    Akal Materiil (العقل الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b)    Akal Al-malakat (العقل الملكة) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c)    Akal Aktual (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d)   Akal Mustafad (العقل المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[2]

4.    Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali dan al-Maawardi akal itu terbagi kepada dua:
1)    Akal Gharizi
Yaitu akal atau ilmu yang diperolehi secara semula jadi sejak anak-anak dalam masa menuju perkembangan.
2)    Akal Muktasab
Yaitu akal atau ilmu yang diperoleh dengan cara berusaha atau belajar dengan menggunakan pengalaman orang dahulu dan percobaan sendiri. Di samping itu kita perlu menyedari cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan itu pula adalah berlainan antara satu golongan dengan golongan yang lain berdasarkan kurniaan Allah dan persiapan-persiapan yang disediakan Allah dalam diri manusia yang berkaitan, yaitu:
a)         Golongan Para Anbia Dan Rasul, mereka mempunyai sifat-sifat rohani dan jasmani yang sempurna di mana mereka memperoleh ilmu dengan cara wahyu atau berita dari Allah s.w.t.
b)        Golongan Auliya (para wali), mereka memperoleh ilmu dengan cara mendapat ilham atau laduni iaitu ilmu yang didapat tanpa belajar tetapi mestilah juga berusaha paling kurang mempunyai ilmu-ilmu asas sebagai persiapan; sebab ilham tidak akan datang merupai sesuatu ilmu baru, yang belum pernah dikenali asasnya.
c)         Golongan Ulamak dan Cendikiawan, mereka memperoleh ilmu adalah dengan cara biasa iaitu dengan cara belajar menggunakan pengalaman atau pengkajian orang lain dan juga percubaan sendiri.
Allah adalah sumber ilmu, manakala kitabNya pula sumber nur dan ilmu pengetahuan. Di dalam al-Quran Allah berfirman:
Allah mengurniakan hikmat (rahsia ilmu) kepada siapa yang dikehendakiNya; dan siapa yang dikaruniakan hikmat maka sungguh dia telah diberikan kebajikan yang banyak; dan tiadalah yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berfikir." (al Baqarah: 269)

5.    Ibnu Rusyd
pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."

Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian.Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.

Bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi karena bentuk fisik yang istilah lain dari bentuk materi bisa  maujud hanya dalam materi. Oleh sebab itu bentuk-bentuk tersebut bersifat sementara dan berubah-ubah. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki supstansi kecuali dalam materi. Maka bentuk-bentuk terpisah itu merupakan sesuatu yang bukan bentuk-bentuk material. Karenanya, keterpisahan jiwa nasional, yaitu akal,hanya dapat ditunjukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa tidak terpisah sebab ia merupakan bentuk dari wujud alamiah organik. Jiwa dibagi, menurut tindakan-tindakannya, kognitif dan apetitif, dan yang disebut terakhir ini tampaknya lebih sesuai kalau ditempatkan sesudah yang imajinatif dan yang sensitif.

Hirarki unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bentuk material yang disebutkan di atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan yaitu lewat perasaan dan imajinasi, sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu, selain lewat dua cara tersebut, lewat akal. Dengan demikian, jalan menuju pengetahuan yaitu lewat perasaan atau akal, yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang universal, kalau tidak maka binatang dapat dikatakan memiliki pengetahuan. Istilah pengetahuan diberlakukan secara kabur pada binatang, manusia,  dan Tuhan. Pengetahuan binatang terbatas pada perasaan dan imajinasi, sedangkan pengetahuan manusia bersifat universal. Jadi perasaan itu merupakan kondisi gambaran, dan setiap kewujudan yang memiliki gambaran tentu memiliki pula perasaan.tapi karena manusia memiliki unsur yang lebih tinggi, yaitu akal, maka ia dapat gambaran lewat pikiran dan nalar, sendangkan pada binatang, gambaran pada dasarnya ada secara alami.

Pengetahuan manuasia tidak boleh di kacaukan dengan pengetahuan tuhan, sebab manusia menserap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang wujud lewat akalnya. Sebab presepsi manusia berubah dikarenakan  berubahanya hal-hal yang diserapnya, dan kemajemukan persepsi mengisyaratkan kemajemukan objek. Mustahil bila pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan tuhan merupakan sebab dari adanya segala suatu itu. Kedua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling bertentangan. Pengetahuan yuhan itu kekal, sedangkan pengetahuan manusia itu sementara.tuhanlah yang  menyebabkan segala kemaujudan. Dan bukanlah segala kemaujudan itu yang menyebabkan dia tahu.

B.       Ontologi Akal Menurut Filosof Muslim

1.    Al-Kindi
Menurut Al-Kindi akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[3]
a)    Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:

1)    Ia adalah Akal Pertama.
2)    Ia selamanya dalam aktualitas.
3)    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
4)    Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.

b)    Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.

c)    Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas

d)   Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.

Al-Kindi memang tidak melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang dilakukan ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum filusof muslim selanjutnya.

2.    Al-Farabi
Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[4]
Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[5]
Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[6]

3.    Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal yaitu akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan.

Ibnu Sina selain dari teori akal tersebut diatas, juga terkenal dengan rumusannya sebagai berikut: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Serta semesta itu serta merta berada sebelum benda-benda , didalam benda-benda itu sendiri dan sesuda benda-benda itu tercipta. Sebelum benda-benda adalah di dalam pikiran Tuhan. Umpamanya tuhan hendak menciptakan kucing, sudah tentu dalam pikiran Tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya. Di dalam benda, jika kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan didapati sifat-sifat kucing. Sesudah benda serba semesta itu tetap masi ada  yaitu dalam pikiran kita. Jika kita telah melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan demikian sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.

4.    Al-Ghazali
Akal menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya. Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang justru akan membawa seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini beliau cantumkan dalam kitabnya yang terus menjadi perdebatan hingga sekarang, yakni tahafut al falasifah (kerancuan filsafat). Pemikiran Al-Ghazali ini, konon sangat mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para pengamat dunia islam yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah yang membuat islam terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sampai hari ini.

Menurut Imam Al Ghazali (1058-1111) , seorang pemikir besar Islam, dengan mengacu pada pengertian kerja atau fungsi akal menyatakan bahwa akal itu tidak bertempat, baik di dalam maupun di luar badan manusia, bersifat immaterial, dan tidak terbagi bagi. Akal berhubungan dengan badan dalam bentuk : (1) muqbil ala al-badan (menghadap badan), mufid lahu (memberi keuntungan), dan (3) mufidh alaih (mengalir kepadanya). Tiga bentuk ini menitik beratkan pada fungsi, proses atau kegiatan. Akal sebagai organ yang mengikat dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh pemikir Islam dari Malaysia, Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ aktif dan sadar yang mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang lain.

Ini menunjukkan pada fakta yang sama dan bermakna sama dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb, ruuh, dan nafs. Sebagaimana Al Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata itu bermakna sama. Kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maraatib al wujuud).Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah.

5.    Ibnu Rusyd
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia.Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif).
Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.

pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."

C.      Aksiologi Akal Menurut Filosof Muslim

1.    Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, satu-satunya filsuf berkebangsaan Arab dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat penting dan tinggi dalam pencarian kebenaran. Bagi Al-Kindi, akal termasuk salah satu alat yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran yang hakiki dalam kehidupan, di samping agama dan argumen-argumen rasional.

2.    Al-Farabi
Al-Farabi berpendapat tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[7]
Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[8]
3.    Ibnu Sina
Menurut  Ibnu  Sina,  sifat  seseorang  sangat  bergantung  pada  pengaruh   tiga  macam jiwa pada dirinya. Jika jiwa tumbuh- tumbuhan atau binatang yang berkuasa pada dirinya,   orang  itu akan menyerupai  binatang;  tetapi  jika  jiwa manusia  (al-nafs  al-nâtiqah) yang  mempunyai  pengaruh  pada  dirinya,  orang  itu    menyerupai malaikat  dan  dekat  kepada  kesempurnaan.  Di  sinilah  peranan  daya praktis  (al-quwwat  al-’âmilah)  yang  berupaya  mengontrol  badan  manusia sehingga  hawa  nafsu  yang  ada  dalam  badan  tidak menjadi  halangan bagi daya  teoritis  (al-quwwat al-‘âmilah aw al-nazariyyah)  untuk  membawa  manusia  kepada  tingkatan  yang  tinggi  dalam  usahanya mencapai kesempurnaan.


4.    Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi:
a)    Akal itu berfungsi untuk mengetahui hakikat segala sesuatu. Dalam hubungan ini akal merupakan sifat ilmu yang terdapat dalam perbendaharaan hati.
b)    Akal itu ialah alat untuk menangkap dan mendapatkan segala maklumat. Dalam hubungan ini akal itu ialah hati itu sendiri yang merupakan hakikat manusia.

5.    Ibnu Rusyd
Akal itu bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua orang.unsur itu merupakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi.konsekwansinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan.hal-hal yang sering kali bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang, dan rusak bila hal-hal itu rusak.

Jiwa Berfikir (an-Nafs an-Nathiqah) Jiwa ini adalah daya yang mengetahui makna-makna yang abstrak, terlepas dari kaitan materi yang terdapat dalam manusia. Jiwa berpikir ini terbagi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan daya potensial yang untuk menjadi actual, ia memerlukan bantuan atau pengaruh akal lain yang senantiasa actual, yaitu akal aktif (‘aql fa’al) yang memberikan pengaruh pada akal hayulani (akal material) untuk jadi akal naluri (‘akl bi’l-malakah). Akal aktif menurut Ibn Rushy akan kekal sedangkan akal praktis akan hancur disebabkan kematian. Akal praktis dan akal teoritis terdapapada semua orang dengan tingkat yang berbeda.Jiwa Kecendrungan (an-Nafs an-Nuzu’iyyah) Jiwa ini adalah daya yang membuat hewan cenderung kepada yang disenangi dan menjauhkan diri dari yang menyakiti. Jiwa ini terdapat pada hewan dan manusia yang melekat pada jiwa khayal dan perasa.





























BAB III
KESIMPULAN

Pandangan al-Kindi tentang akal ialah bahwa manusia memiliki akal dan nafsu kehewanian, sehingga manusia dikatakan makhluk berpikir (rational animal). Al-Farabi menganggap bahwa akal merupakan pendukung bagi kemampun jiwa menuju ke jiwa yang suci karena kesucian jiwa tidak akan dapat dicapai hanya dengan amal badaniyah semata tetapi untuk menuju kesempurnaan jiwa di samping amal badaniyah juga membutuhkan tindakan-tindakan pemikiran melalui akal. Pemikiran Ibnu Sina mengenai akal ialah bahwa akal yang tertinggi adalah Allah artinya Allah yang menciptakan akal yang kedua sampai akal yang kesepuluh. Menurut Al-Ghazali bahwa akal merupakan alat untuk mencari kebenaran serta yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya.
Pemikiran Ibnu Rusyd mengenai akal tersebut ialah bahwa manusia dapat memperoleh suatu pengetahuan di samping memanfaatkan perasaan dan imajinasinya ialah dengan menggunakan akalnya. Akal merupakan sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Hakikat akal sesuai dengan pandangan al-Kindi adalah akal merupakan wahyu yang berasal dari Tuhan. Al-Farabi menganggap bahwa pada dasarnya manusia dapat memikirkan segala sesuatu dengan akal sehingga mampu menciptakan berbagai macam sesuatu yang berguna bagi kehidupannya, dikarenakan adanya perantara akal kesepuluh, akal kesepuluh tersebut yang dimaksud adalah jibril as. Dan hakikatnya, keseluruhan akal berasal dari Allah. Maksud dari pandangan Ibnu Sina ialah bahwa manusia memiliki akal dan dari akal tersebut, manusia mampu membuat barang-barang berharga, mengolah hasil bumi dan lain sebagainya. Pendapat penulis mengenai pandangan Ibnu Rusyd tentang tindakan akal sebagai penyerap gagasan dan konsep secara universal dan hakiki, ialah hakikat akal manusia merupakan sesuatu yang berasal dari akal yang lebih tinggi kedudukannya yaitu Allah. Akal manusia merupakan wujud atau bentuk dari adanya akal Allah.
Berdasarkan pandangan lima tokoh yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, penulis menganalisa bahwa inti dari pandangan-pandangan para tokoh tersebut mengenai akal ialah sama, hakikat akal manusia merupakan wujud dari adanya akal yang tidak tampak. Akal yang tidak tampak ialah Allah. Allah dikatakan akal yang tertinggi dikarenakan dari-Nyalah semua ini berasal. Dialah Yang Maha Pengatur, Maha Pencipta dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Adanya manusia, alam semesta dan kehidupan ini, semata-mata karena adanya Dzat Yang Maha segala-galanya yaitu Allah.























DAFTAR PUSTAKA

Zar ,Sirajudin. 2004. filsafat Islam Filosof dan filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan bintang.

Syarif, M. M.. 1994. History of Muslim Philisophy. penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
                   
fakhry ,Majid. 2002.  Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan.

Nasution ,Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.




[1] Majid fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2002) hal. 51-52
[2] Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 73.
[3]Sirajudin Zar, filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 61-61
[4]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.29
[5]M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy, penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h.70
[6]Harun Nasution, op. cit., h. 30
[7]M. M. Syarif, op.cit, h.70
[8]Harun Nasution, op. cit., h. 30

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking