AKAL
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Filsafat Islam”
Oleh Kelompok 10 :
Darul Faroqi
(D01211045)
Hayatun
Nufus (D01211052)
Muhammad
Badruttamam (D01211061)
Dosen
Pembimbing:
Drs. Abdul
Hamid, M.Ag.
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia telah
dibekali akal oleh Allah. Dengan akal
itu, manusia dapat membentuk peradaban, kebudayaan dan kebutuhan yang mereka
perlukan. Bagi mereka yang menggunakan akalnya berarti mereka mau berfikir dan
akan mendapatkan petunjuk-Nya. Namun, bagi mereka yang tidak menggunakan
akalnya berarti malas berfikir dan akan tersesat. Seperti yang disebutkan dalam
Qur’an Surat Al-Imran ayat 190 yang artinya “sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berakal”. Dengan demikian jelas, bahwa orang-orang yang berakal
disini berarti orang-orang yang mampu menahan diri dari berbuat maksiat dan
dzalim.
Selain dalam
Q.S surat Ali-Imran,dalm surat Al-Baqarah ayat 269 dikatakan yang artinya
“siapa yang diberi hikmah oleh (Allah swt) berarti di diberikan kebaikan yang
banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
memiliki lubb (akal cerdas)”. Hal ini, menguatkan sekaligus menegaskan
bahwa orang yang berakal itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi selama di dunia. Mengenai akal, tokoh-tokoh
yang dikenal sebagai filsuf Islam antara lain Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Berbeda pendapat. Untuk itu, dalam makalah ini akan
dibahas mengenai pandangan tokoh-tokoh tersebut mengenai akal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Epistemologi akal menurut filosof muslim?
2.
Bagaimana Ontologi akal menurut filosof muslim?
3.
Bagaimana Aksiologi akal menurut filosof Muslim?
C. Tujuan
Dari makalah
yang kita susun diharapkan setelah membaca makalah ini, kita akan memahami
bagaimana pandangan para filosof muslim terhadap Akal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epistemelogi Akal Menurut Filosof Muslim
1.
Al-Kindi
Menurut pandangan Al-Kindi akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di
luar jiwa manusia, diperole secara Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas.
Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang
bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual
Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri
manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi
dan yang akali
Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar
dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran
abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif
yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.
Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa
akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia,
yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas
Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka
ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses
penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan
2.
Al-Farabi
Menurut pandangan Al-Farabi untuk dapat
berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai
jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Tidak hanya diperoleh melalui badan dan
perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui
kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral
sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan
terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa
ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi.
Al-Farabi
adalah filosof muslim pertama yang secara teliti mengupas problem klasik
warisan Aristoteles mengenai nalar. Dalam Risalah fi Al-Aql, Al-Farabi memuat
enam istilah seputar nalar atau akal.
a.
Nalar yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang
cerdik atau cerdas, yang juga dipakai
untuk mengukur “kemasuk akalan”.
b.
Nalar seperti yang dimaksud oleh para teolog ketika
membenarkan atau menolak pendapat tertentu (kesepakatan umum).
c.
Nalar yang pernah disebut oleh Aristoteles Analytica
Posteriora (arab: kitab Al Burhan) sebagai habitus. Melalui nalar ini,
prinsip-prinsip pembuktian diketahui oleh manusia secara intuitif.
d.
Nalar yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam
Nicomachean Ethics-nya sebagai “nalar praktis pergumulan panjang manusia, yang memberinya kesadaran tentang tindakan
yang patut dipilih atau dihindarinya”.
e.
Nalar seperti yang dibahas Aristoteles dalam De Anima,
yang dengan sendirinya mencakup empat bagian, yaitu:
1)
Nalar potensial (materiil) berperan mengabstraksi
bentuk-bentuk materiil dari substratum materiil.
2)
Nalar aktual sebagai tempat bersemayamnya bentuk
materil hasil abstraksi dari nalar potensial.
3)
Nalar mustafad, tempat yang mewadahi bentuk kawuruhan
yang sudah terabstraksi (terbebaskan, terlepaskan) dari materi.
4)
Intelek aktif, yang tertinggi dari semua intelegensi,
dapat diibaratkan sebagai perantara adikodrati yang memberdayakan nalar manusia
agar dapat mengaktualisasikan pemahamannya. Intelek ini berfungsi bak matahari
yang menerangi benda-benda ragawi agar benar-benar bisa dilihat.
f.
Nalar yang disebut oleh Aristoteles dalam Metaphysic,
yaitu nalar, intelek, atau fikiran yang berfikir mengenai dirinya sendiri, dan
inilah yang disebut Tuhan.[1]
3.
Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina Jiwa manusia, yang disebut juga (القوة الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya
teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
a)
Akal Materiil (العقل
الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikit.
b)
Akal Al-malakat (العقل
الملكة) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal
abstrak.
c)
Akal Aktual (العقل
بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d)
Akal Mustafad (العقل
المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal
abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan
menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[2]
4.
Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali dan al-Maawardi akal itu
terbagi kepada dua:
1)
Akal Gharizi
Yaitu akal atau ilmu yang diperolehi secara semula jadi
sejak anak-anak dalam masa menuju perkembangan.
2)
Akal Muktasab
Yaitu akal atau ilmu yang diperoleh dengan cara berusaha
atau belajar dengan menggunakan pengalaman orang dahulu dan percobaan sendiri.
Di samping itu kita perlu menyedari cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan
itu pula adalah berlainan antara satu golongan dengan golongan yang lain
berdasarkan kurniaan Allah dan persiapan-persiapan yang disediakan Allah dalam
diri manusia yang berkaitan, yaitu:
a)
Golongan Para Anbia Dan Rasul, mereka mempunyai
sifat-sifat rohani dan jasmani yang sempurna di mana mereka memperoleh ilmu
dengan cara wahyu atau berita dari Allah s.w.t.
b)
Golongan Auliya (para wali), mereka memperoleh ilmu
dengan cara mendapat ilham atau laduni iaitu ilmu yang didapat tanpa belajar
tetapi mestilah juga berusaha paling kurang mempunyai ilmu-ilmu asas sebagai
persiapan; sebab ilham tidak akan datang merupai sesuatu ilmu baru, yang belum
pernah dikenali asasnya.
c)
Golongan Ulamak dan Cendikiawan, mereka memperoleh ilmu
adalah dengan cara biasa iaitu dengan cara belajar menggunakan pengalaman atau
pengkajian orang lain dan juga percubaan sendiri.
Allah adalah sumber ilmu, manakala kitabNya pula sumber
nur dan ilmu pengetahuan. Di dalam al-Quran Allah berfirman:
“Allah
mengurniakan hikmat (rahsia ilmu) kepada siapa yang dikehendakiNya; dan siapa
yang dikaruniakan hikmat maka sungguh dia telah diberikan kebajikan yang
banyak; dan tiadalah yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
berfikir." (al Baqarah: 269)
5.
Ibnu Rusyd
pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai
pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota
terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini
hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau
mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang
dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn
Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."
Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa
lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan
setelah kematian.Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai
kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali
bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.
Bentuk materi
tidak pernah dapat dipisahkan dari materi karena bentuk fisik yang istilah lain
dari bentuk materi bisa maujud hanya
dalam materi. Oleh sebab itu bentuk-bentuk tersebut bersifat sementara dan
berubah-ubah. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki supstansi kecuali
dalam materi. Maka bentuk-bentuk terpisah itu merupakan sesuatu yang bukan
bentuk-bentuk material. Karenanya, keterpisahan jiwa nasional, yaitu akal,hanya
dapat ditunjukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa
tidak terpisah sebab ia merupakan bentuk dari wujud alamiah organik.
Jiwa dibagi, menurut tindakan-tindakannya, kognitif dan apetitif, dan yang
disebut terakhir ini tampaknya lebih sesuai kalau ditempatkan sesudah yang
imajinatif dan yang sensitif.
Hirarki
unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bentuk material yang disebutkan di
atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan yaitu lewat perasaan dan imajinasi,
sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu, selain lewat dua cara
tersebut, lewat akal. Dengan demikian, jalan menuju pengetahuan yaitu lewat
perasaan atau akal, yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu
atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal
yang universal, kalau tidak maka binatang dapat dikatakan memiliki pengetahuan.
Istilah pengetahuan diberlakukan secara kabur pada binatang,
manusia, dan Tuhan. Pengetahuan binatang
terbatas pada perasaan dan imajinasi, sedangkan pengetahuan manusia bersifat
universal. Jadi perasaan itu merupakan kondisi gambaran, dan setiap kewujudan
yang memiliki gambaran tentu memiliki pula perasaan.tapi karena manusia
memiliki unsur yang lebih tinggi, yaitu akal, maka ia dapat gambaran lewat
pikiran dan nalar, sendangkan pada binatang, gambaran pada dasarnya ada secara
alami.
Pengetahuan
manuasia tidak boleh di kacaukan dengan pengetahuan tuhan, sebab manusia
menserap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang wujud lewat akalnya.
Sebab presepsi manusia berubah dikarenakan
berubahanya hal-hal yang diserapnya, dan kemajemukan persepsi
mengisyaratkan kemajemukan objek. Mustahil bila pengetahuan kita merupakan
akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan tuhan merupakan sebab
dari adanya segala suatu itu. Kedua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda
satu sama lain dan saling bertentangan. Pengetahuan yuhan itu kekal, sedangkan
pengetahuan manusia itu sementara.tuhanlah yang
menyebabkan segala kemaujudan. Dan bukanlah segala kemaujudan itu yang
menyebabkan dia tahu.
B.
Ontologi Akal Menurut Filosof Muslim
1.
Al-Kindi
Menurut Al-Kindi akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat
mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya,
terbagi menjadi tiga macam yaitu:[3]
a)
Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di
luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena
selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat
potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai
berikut:
1)
Ia adalah Akal Pertama.
2)
Ia selamanya dalam aktualitas.
3)
Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
4)
Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.
b)
Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri
manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi
dan yang akali.
c)
Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar
dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran
abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif
yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.
Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa
akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia,
yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas
d)
Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka
ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses
penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.
Al-Kindi memang
tidak melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa
yang dilakukan ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum
filusof muslim selanjutnya.
2.
Al-Farabi
Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam.
Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu,
dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui
dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang
dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[4]
Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan
oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam
menyempurnakan jiwa.[5]
Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal
potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk
dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual,
akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep
belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini
mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[6]
3.
Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang
terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal yaitu akal manusia
dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari
kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya
kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal
manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan.
Ibnu Sina selain dari teori akal tersebut diatas, juga terkenal
dengan rumusannya sebagai berikut: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini
kedalam bentuk-bentuk. Serta semesta itu serta merta berada sebelum benda-benda
, didalam benda-benda itu sendiri dan sesuda benda-benda itu tercipta. Sebelum
benda-benda adalah di dalam pikiran Tuhan. Umpamanya tuhan hendak menciptakan
kucing, sudah tentu dalam pikiran Tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya.
Di dalam benda, jika kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan
didapati sifat-sifat kucing. Sesudah benda serba semesta itu tetap masi
ada yaitu dalam pikiran kita. Jika kita
telah melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan
demikian sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.
4.
Al-Ghazali
Akal menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat
tinggi kedudukannya. Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang
justru akan membawa seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini
beliau cantumkan dalam kitabnya yang terus menjadi perdebatan hingga sekarang,
yakni tahafut al falasifah (kerancuan filsafat). Pemikiran Al-Ghazali ini,
konon sangat mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para
pengamat dunia islam yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah
yang membuat islam terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan sampai hari ini.
Menurut Imam Al Ghazali (1058-1111) , seorang pemikir
besar Islam, dengan mengacu pada pengertian kerja atau fungsi akal menyatakan
bahwa akal itu tidak bertempat, baik di dalam maupun di luar badan manusia,
bersifat immaterial, dan tidak terbagi bagi. Akal berhubungan dengan badan
dalam bentuk : (1) muqbil ala al-badan (menghadap badan), mufid lahu (memberi
keuntungan), dan (3) mufidh alaih (mengalir kepadanya). Tiga bentuk ini menitik
beratkan pada fungsi, proses atau kegiatan. Akal sebagai organ yang mengikat
dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh pemikir Islam dari Malaysia,
Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ aktif dan sadar yang
mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang
lain.
Ini menunjukkan pada fakta yang sama dan bermakna sama
dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb, ruuh, dan nafs. Sebagaimana Al
Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata itu bermakna sama. Kesemuanya
menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maraatib al wujuud).Pada masa
pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukan seseorang
dalam situasi yang berubah-ubah.
5.
Ibnu Rusyd
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang
dipunyai manusia.Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam
"akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan
universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif).
Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu
ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal
yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika
manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki
seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal,
sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.
pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai
pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota
terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini
hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau
mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang
dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn
Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."
C.
Aksiologi Akal Menurut Filosof Muslim
1.
Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, satu-satunya filsuf berkebangsaan Arab dalam
Islam, akal memiliki posisi yang sangat penting dan tinggi dalam pencarian
kebenaran. Bagi Al-Kindi, akal termasuk salah satu alat yang dibutuhkan untuk
mencari kebenaran yang hakiki dalam kehidupan, di samping agama dan
argumen-argumen rasional.
2.
Al-Farabi
Al-Farabi berpendapat tentang akal praktis dan
teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi
untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal
teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[7]
Selanjutnya akal
teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik
(material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang
dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual).
Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal
mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan
komunikasi dengan Sang Pencipta.[8]
3.
Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina,
sifat seseorang sangat
bergantung pada pengaruh tiga macam jiwa pada dirinya.
Jika jiwa tumbuh- tumbuhan atau binatang yang berkuasa pada dirinya, orang
itu akan menyerupai
binatang; tetapi jika
jiwa manusia (al-nafs al-nâtiqah) yang mempunyai
pengaruh pada dirinya,
orang itu menyerupai malaikat dan
dekat kepada kesempurnaan.
Di sinilah peranan
daya praktis (al-quwwat al-’âmilah)
yang berupaya mengontrol
badan manusia sehingga hawa
nafsu yang ada
dalam badan tidak menjadi
halangan bagi daya teoritis (al-quwwat al-‘âmilah aw al-nazariyyah) untuk
membawa manusia kepada
tingkatan yang tinggi
dalam usahanya mencapai
kesempurnaan.
4.
Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi:
a)
Akal itu berfungsi untuk mengetahui hakikat segala
sesuatu. Dalam hubungan ini akal merupakan sifat ilmu yang terdapat dalam
perbendaharaan hati.
b)
Akal itu ialah alat untuk menangkap dan mendapatkan
segala maklumat. Dalam hubungan ini akal itu ialah hati itu sendiri yang
merupakan hakikat manusia.
5.
Ibnu Rusyd
Akal itu
bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua
orang.unsur itu merupakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan
bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis
dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan
imajinasi.konsekwansinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan.hal-hal
yang sering kali bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka
berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang, dan rusak bila hal-hal itu
rusak.
Jiwa Berfikir
(an-Nafs an-Nathiqah) Jiwa ini adalah daya yang mengetahui makna-makna yang
abstrak, terlepas dari kaitan materi yang terdapat dalam manusia. Jiwa berpikir
ini terbagi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan
daya potensial yang untuk menjadi actual, ia memerlukan bantuan atau pengaruh
akal lain yang senantiasa actual, yaitu akal aktif (‘aql fa’al) yang memberikan
pengaruh pada akal hayulani (akal material) untuk jadi akal naluri (‘akl
bi’l-malakah). Akal aktif menurut Ibn Rushy akan kekal sedangkan akal praktis
akan hancur disebabkan kematian. Akal praktis dan akal teoritis terdapapada
semua orang dengan tingkat yang berbeda.Jiwa Kecendrungan (an-Nafs
an-Nuzu’iyyah) Jiwa ini adalah daya yang membuat hewan cenderung kepada yang
disenangi dan menjauhkan diri dari yang menyakiti. Jiwa ini terdapat pada hewan
dan manusia yang melekat pada jiwa khayal dan perasa.
BAB III
KESIMPULAN
Pandangan al-Kindi tentang akal ialah bahwa manusia memiliki akal
dan nafsu kehewanian, sehingga manusia dikatakan makhluk berpikir (rational
animal). Al-Farabi menganggap bahwa akal merupakan pendukung bagi kemampun
jiwa menuju ke jiwa yang suci karena kesucian jiwa tidak akan dapat dicapai
hanya dengan amal badaniyah semata tetapi untuk menuju kesempurnaan jiwa di
samping amal badaniyah juga membutuhkan tindakan-tindakan pemikiran melalui
akal. Pemikiran Ibnu Sina mengenai akal ialah bahwa akal yang tertinggi adalah
Allah artinya Allah yang menciptakan akal yang kedua sampai akal yang
kesepuluh. Menurut Al-Ghazali bahwa akal merupakan alat untuk mencari kebenaran
serta yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya.
Pemikiran Ibnu Rusyd mengenai akal tersebut ialah bahwa manusia
dapat memperoleh suatu pengetahuan di samping memanfaatkan perasaan dan
imajinasinya ialah dengan menggunakan akalnya. Akal merupakan sesuatu yang
membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia mampu membedakan mana
yang benar dan mana yang salah.
Hakikat akal sesuai dengan pandangan al-Kindi adalah akal merupakan
wahyu yang berasal dari Tuhan. Al-Farabi menganggap bahwa pada dasarnya manusia
dapat memikirkan segala sesuatu dengan akal sehingga mampu menciptakan berbagai
macam sesuatu yang berguna bagi kehidupannya, dikarenakan adanya perantara akal
kesepuluh, akal kesepuluh tersebut yang dimaksud adalah jibril as. Dan
hakikatnya, keseluruhan akal berasal dari Allah. Maksud dari pandangan Ibnu
Sina ialah bahwa manusia memiliki akal dan dari akal tersebut, manusia mampu
membuat barang-barang berharga, mengolah hasil bumi dan lain sebagainya.
Pendapat penulis mengenai pandangan Ibnu Rusyd tentang tindakan akal sebagai
penyerap gagasan dan konsep secara universal dan hakiki, ialah hakikat akal
manusia merupakan sesuatu yang berasal dari akal yang lebih tinggi kedudukannya
yaitu Allah. Akal manusia merupakan wujud atau bentuk dari adanya akal Allah.
Berdasarkan pandangan lima tokoh yaitu Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, penulis menganalisa bahwa inti dari
pandangan-pandangan para tokoh tersebut mengenai akal ialah sama, hakikat akal
manusia merupakan wujud dari adanya akal yang tidak tampak. Akal yang tidak
tampak ialah Allah. Allah dikatakan akal yang tertinggi dikarenakan dari-Nyalah
semua ini berasal. Dialah Yang Maha Pengatur, Maha Pencipta dan Maha Berkuasa
atas segala sesuatu. Adanya manusia, alam semesta dan kehidupan ini,
semata-mata karena adanya Dzat Yang Maha segala-galanya yaitu Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Zar ,Sirajudin.
2004. filsafat
Islam Filosof dan filsafatnya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution,
Harun.
1992. Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam.
Jakarta: Bulan bintang.
Syarif, M.
M..
1994. History of Muslim Philisophy.
penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
fakhry ,Majid.
2002. Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan.
Nasution ,Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
[1] Majid fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta
Kronologis (Bandung: Mizan, 2002) hal. 51-52
[3]Sirajudin Zar, filsafat
Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal.
61-61
[4]Harun Nasution,
Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992),
h.29
[5]M. M. Syarif, History
of Muslim Philisophy, penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung:
Mizan, 1994), h.70
[6]Harun Nasution,
op. cit., h. 30
[8]Harun Nasution,
op. cit., h. 30
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking