BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama
adalah sebuah keyakinan yang diyakini oleh sekelompok manusia yang dalam proses
penyebaranya menggunakan doktrin-doktrin yang kadang-kadang belum terbukti
kebenarannya berdasarkan pembuktian rasio akal. Berdasarkan perkembangan zaman
yang semakin maju dibidang intelektual maupun teknologi yang dikembangkan oleh
manusia, berdampak banyaknya pertanyaan yang timbul dikarenakan kritisisme
terhadap doktrin-doktrin agama yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Oleh sebab
itu, muncullah para filosof-filosof muslim yang memiliki peran yang sangat
penting dalam perasionalan doktrin-doktrin agama, agar agama lebih mudah
diyakini dan diterima oleh masyarakat. Seperti halnya Ibnu Sina, Ibnu Sina
adalah Filosof muslim yang paling gemilang pemikirannya di bandinkan para
filusuf yang lain, sehingga pemikirannya mudah diterima oleh masyarakat dalam
menjelaskan tentang objek-objek yang dikaji dalam agama, sehingga dapat
dikatakan bahwa filsafat islam dapat mencapai puncak kejayaannya yaitu pada
masa Ibnu Sina.
Oleh sebab
itu, kita akan membahas tentang Ibnu Sina dimulai dari sejarah hidupnya, dan
pemikiran filsafatnya dengan harapan kita dapat memahami dan meneruskan
perjuangan Ibnu Sina dalam merasionalkan doktrin-doktrin agama, terutama yang
masih bersifat irasional agar mudah diterima dan diyakini oleh masyrakat di era
modern ini.
B. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan
pembahasan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
sejarah hidup Ibnu Sina, dan
2.
Mengetahui
pemikiran filsafat Ibnu Sina tentang Tuhan, Manusia, Alam, Jiwa, dan Akal.
A. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah
Abu 'Ali al-Husein ibnu 'Abd Allah ibn al-Hasan ibnu 'Ali ibn Sina. Ia
dilhirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada tahun 370 H (8-980 M) dan meninggal dunia
pada tahun 428 H (1037 M) dalam usia 58 tahun dan jasadnya dikebumikan di
Hamadzan.[1] Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[2] ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa
raja Nuh ibn Mansur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan,
suatu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan
mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (Ibn Sina), dan Muhammad.
Nama Ibnu Sina di Barat populer dengan sebutan
Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah
Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal
dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada
pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[3]
Ibnu Sina mempunyai ingatan dan
kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal
al-Qur'an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendati pun ia belum
memahaminya sampai membaca ulasan Al-Farabi.[4] Pada
usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, Fikih,
ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Sesudah
itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori
kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.[5] Dan ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun, dengan kepintarannya yang sangat
mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapapun juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat
sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia
berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu Mansur, yang sebelumnya tidak seorang
dokterpun mampu menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh
Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[6] Bahkan,
ilmu kedokteran yang ia dapatkan adalah hasil dipelajarinya sendiri.
Di antara guru-gurunya hanya Abu
'Abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan Isma'il (seorang zahid).[7] Pada
usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, guru, penyair, filsuf,
pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati
sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan
perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga dia diberikan kesempatan
untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya
ingatnya yang luar biasa, Ibn Sina dapat menghafal sebagian besar isi buku-buku
tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang
psikologi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn
Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra'is ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina
kepada Amir).
Pada masa mudanya Ibn Sina
tertarik kepada aliran Syi'ah Isma'iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak
mendengar percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya
atau dengan kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai
soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka.[8] Tetapi,
sebagaimana dikatakannya sendiri dalam autobiografinya, ia tidak dapat menerima
aliran-aliran tersebut dan menjahuinya. Hal itu menunjukkan kemandirian
berpikir Ibn Sina dan tidak mengikuti mazhab Sunnah maupun mazhab Syi'ah. Ia
muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi (mazhab Ibn Sina). Jadi,
amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak mazhab yang dikembangkannya,
apakah cenderung ke Syi'ah atau cenderung ke Sunnah. Tampaknya, Ibn Sina
mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat
kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang keagamaan.
Atas keberhasilan Ibnu Sina
dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di
tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak
memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syeikh al Ra'is (Kyai
Utama).[9]
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif
pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika
pustaka istana, Kutub Khana terbakar, Ibnu Sina dituduh membakarnya,[10] dengan
alasan agar orang lain tidak dapat menguasai ilmu di sana. Cobaan lain, bahwa
ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata
kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan
diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala
kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.[11]
B. Ibnu Sina dan Pemikiran Filsafatnya
1.
Tuhan
Membahas
tentang Tuhan dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang
metafisika, menurut Ibnu Sina metafisika adalah pengetahuan tentang segala yang
ada sebagai adanya dan sejauh yang dapat diketahui mausia.[12]
Dan berkaitan dengan metafisika Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai
yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun
esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan
wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari esensi.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya tuhan (isbat wujud
Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan
duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Berikut
penjelasannya.
a. Wajib al-wujud
Yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti
mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya
adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian
berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi
Wajib al-wujud ke dalam dua pembagian, yaitu:
1) Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian
wujudnya disebabkan olae zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa
diceraiakan dengan wujud karen keduanya adalah satu dan wujudnya tidak
didahului oleh tiada (ma'dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi
dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja,
yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal
murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun.[13]
2) Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang
kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Mislnya : Adanya basah disebabkan
oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 4 karena ada 2+2, dan
sebagainya.[14]
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan
Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensinya karena Allah Maha Esa
dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika
sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi
pluralitas (ta’addud al-qudama’).
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa
ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan ia tidak mengetahui yang
parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui
yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zatnya sebagai
sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial
melalui sebab akibatyang terakhir kepada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari
pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga
memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha
sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa
perubahan pada esensi manusia.[15]
2.
Manusia
Terdapat
tiga objek kajian yang akan dibahas dalam pembahasan manusia, yaitu: Wujud manusia,
jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia, akan tetapi objek pembahsan
jiwa dan akal pada manusia akan di jelakan pada pembahasan filsafat jiwa Ibnu
Sina pada pembahasan ke lima.
a.
Dalam
menjelaskan tentang wujud manusia Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiahnya
untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin
al-Wujud, berikut penjelasannya:
Mumkin al-Wujud adalah
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah
lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah
mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.[16]
b.
Dalam
menjelaskan tentang awal mula proses muculnya ruh, maka kita akan melihat pada
teori emanasi Ibnu Sina.
Proses munculnya ruh diawali dengan
adanya Akal X yang dayanya sudah sangat lemah berfikikir tenteng Allah sebagai Wajib
wujud li dzatihi menghasilkan pemikiran ke 10 yang berfikir tentang Wajib
wujud li ghairihi menghasilkan jiwa ke 10 dan berfikirnya tentang dirinya
sendiri sebagai Mumkiul wujud li dzatihi menghasilkan berbagi unsur
dasar dari bumi dan juga ruh manusia. Dan jiwa ke 10 itulah yang menggerakkan
roh.[17]
Menurut Ibnu Sina jika manusia telah
meninggal maka hanya raganya saja yang tidak aktif, tetapi rohnya akan tetap
hidup, dan roh yang abadi itu akan mengalami sikasa dan kesenangan.[18]
c.
Alam
Ibnu Sina, sebagaimana juga
al-farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak
yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari
materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara
emanasi.
Telah disebutkan bahwa filsafat
emanasi ini bukan renungan ibnu sina (juga al- Farabi), tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang
menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The One). Kemudian,
filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari hanya yang satu yang melimpah.”Ini
diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Al- Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara
emanasi. Hal ini memungkinan karena dalam al-quran tidak ditemukan informasi
yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari
tiadanya. Dengan demikian, walaupun
prinsip ibnu sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda.
Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif
bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif.Ia menciptakan alam dari materi yang
sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pancaran
tersebut ialah ketika allah (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan
terhadap zatnya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama.
Dari akal pertama ini memancarlah Akal kedua, Jiwa pertama dan langit pertama.
Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tida
dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa kesepuluh,
bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara,
api, dan tanah.[19]
Berlainan dengan Al-Farabi, bagi
Ibnu sina Akal pertama mempunyai dua sifat: Sifat wajib wujudnya sebagai
pancaran dari Allah dan sifat munkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga:
Allah (Wajib al-wujud li Szatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud
li ghairihi) sebagai pancaran dari allah, dan dirinya akal-akal (mumkin
al-wujud) ditinjau dari hakikatnya.
Akal-akal dan planet-planet
dalam emanasi dipancarkan Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi
karena ta’aqul allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi yang maha dasyhat.
Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu allah tentang dirinya dan ilmu itu
adalah daya (al-qudrat) yang mencitakan segalanya.
Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil
ta’aqqul allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal,
jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Berbeda dengan pendahulunya,
Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi
sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri)
tidak langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para
malaikat, Akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah
malaikat jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.[20]
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini
untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa
menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika allah
berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat
hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.
Telah disebutkan bahwa perbedaan
yang mendasar antara Plotinus dengan Ibnu sina (juga al-Farabi) ialah: bagi
Plotinus ala mini hanya terpancar dari yang satu (tuhan), yang mengesankan
Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini
ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya.
Sementara itu, dalam Islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah
menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama islamtermasuk
ajaran pokok atau qath’I al-dalalah. Dengan kata lain, ekhalikan allah
ini esti diimani sepenuhnya. Orang yang mengingkari dapat membawa pada
kekafiran.Atas dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya erupakan
ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan
filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak zaman Azali. Akan tetapi, tentu saja Ibnu
Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan tersebut terletak pada
sebab membuat alam terwujud. Keberadan alam tidak didahului oleh zaman, maka
alam qadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi, sebagai
hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini
baharu. Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, Ia sebab semua yang
ada dan Ia pencipta alam.
4.
Jiwa
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Harus
diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata
jiwa dalam al Quran dan Hadist diistilahkan dengan al Nafs atau al Ruh.
Sebagaimana
yang terkandung pada al Shod ayat71-72:
اِذْقَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ اِنِّى خَالِقٌ بَشَرًامِنْ طِيْنٍ.
فَاِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِى فَقَعُوالَهُ سَاجِدِيْنَ.
Artinya:
“Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman
kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka
apabila telah Kusmpurnakan kejadianya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku,
maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.”
Sebagaimana
yang terkandung pula pada al Isro’ ayat 85:
وَيَسْاَلُونَكَ
عَنُ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَا اُوتِيْتُمْ مِنَ
العِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا.
Artinya:
“dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-Ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Jiwa
manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan,
memancar dari Akal Sepuluh. Secara garis besarnya, pembahasan Ibnu Sina tentang
jiwa terbagi pada dua bagian, yakni:
a. Fisika, membicarakan tentang jiwa,
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس
النباتية)
mempunyai tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada
tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2) Jiwa binatang (النفس
الحيوانية)
mempunyai dua daya: gerak dan menangkap. Daya yang terakhir ini terbagi menjadi
dua bagian:
a) Menangkap dari luar (المدركة
من الخارج)
dengan panca indra.
b) Menangkap dari dalam (المدركة
من الداخل)
dengan indra-indra batin, yang terdiri atas lima indra, yakni:
(1) Indra bersama (الحس
المشترك),
yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
(2) Representasi (القوة
الخيال)
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama.
(3) Imajinasi (القوة
المتخيلة)
yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal.
(4) Estimasi (القوة
الوهمية)
yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
(5) Rekoleksi (القوة
الحافظة)
yang menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian, jiwa binatang lebih
tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak, tetapi telah
dapat bekerja dan bertindak erta telah merasakan sakit dan senang seperti
manusia.
3) Jiwa manusia, yang disebut juga(القوة
الناطقة),
mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis
hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan
sebagai berikut:
a) Akal Materiil (العقل
الهيولانى)
yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun
sedikit.
b) Akal al-Malakat (العقل
الملكة)
yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c) Akal Aktual (العقل
بالفعل)
yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d) Akal Mustafad (العقل
المستفاد),
yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya
upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif.
b. Metafisika, membicarakan tentang hal-hal
berikut:
1) Wujud Jiwa
Dalam
membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil, yakni:
a) Dalil Alam Kejiwaan
Dalil
ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Gerakan paksaan, yaitu gerakan yang
timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar.
2) Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan
yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan
yang sesuai dengan hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara
itu, yang berlawanan dengan alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang.
Padahal, menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya
jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang
berbeda dengan unsur jisim.
b) Konsep “aku” dan kesatuan fenomena
psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada
hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang
lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya.
Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu
yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya
adalah jiwa.
c) Dalil Kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan
jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian.
Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang
lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang.
Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain selalu mengalami perubahan.
Sementara itu, jiwa bersifat kontinue (istimrar), tidak mengalami perubahan dan
pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan
berlangsung selama umur kita tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa
berbeda dengan jasad.
d) Dalil manusia terbang atau manusia
melayang di udara
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu
Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan,
namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Ringkasnya
adalah sebagai berikut.
Andaikan
ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud sempurna, kemudian
diletakkan di udara dengan mata tertutup, maka ia tidak akan melihat apapun.
Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam
kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia mengkhayalkan
adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia
khayalkan bukan dari dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud
dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang
berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikianlan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh Ibnu Sina sebagai bukti tetang adanya jiwa. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia
merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan
karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir.
2) Hakikat Jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan
Aristoteles yang berbunyi: “Kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis”
ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum
memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut
Aristoteles, manusia sebagai layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur:
materi (مادة) dan form (صورة). Materi adalah
jasad menusia dan form adalah jiwa manusia. Form yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan
awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya materi atau jasad akan membawa
hancurnya form atau jiwa.
Justru itulah, untuk membedakan
hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak
tersusun dari matei-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat
accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh).
Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang
berdiri sendiri (النفس جوهر قائم بذاته).
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu
Sina mengemukakan beberapa argumen berikut:
a) Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (معقولات) dan ini tidak
dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek
pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
b) Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang
abstrak (كلى) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu, indra dan khayal
hanya dapat mengetahui yang konkret (جزئ) dengan alat. Jadi
jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan indra dan khayal.
c) Jasad atau organnya jika melakukan kerja
berat atau berulang kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak.
Sebaliknya, jiwa jika dipergunakan terus-menerus berpikir tentang masalah besar
tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
d) Jasad dan perangkatnya akan mengalami
kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sebaliknya, jiwa
atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan
bagian dari jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.
3) Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato
telah membicarakan hubungan antara jiwa dan jasad. Aristoteles menggembarkan
hubungan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya, Plato seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, hubungan antara keduanya bersifat accident
karena jiwa dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Ibnu Sina kelihatannya menerima
penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, namun
hubungannya bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya
jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan pendapat Plato bahwa
hubungan keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa
binasa kepada jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya
hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya saling mempengaruhi atau saling
membantu. Jasad adlah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan merupakan syarat
mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa
adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi
adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
4) Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa
manusia diciptakan setiap kali jasadd yang akan ditempatinya telah diadakan.
Pendapat ini sekaligus menolak konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah
ada di alam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini
diterima, seperti dikemukakan di atas, maka akan terjadi jiwa tanpa jasad, atau
adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa. Sementara itu, di akhirat akan
terjadi pembalasan secara kolektif.
Ibnu Sina kelihatannya lebih cenderung
berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Alquran. Menurutnya, jiwa
manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad.
Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan
(bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya ini dikekalkan oleh Allah
(الخلود). Jadi, jiwa adalah barang baru (حادث) karena diciptakan
(punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Sesuai dengan isyarat di atas, secara
eksplisit Ibnu Sina mengatakan bahwa yang dibangkitkan di akhirat nanti hanya
rohnya. Pengingkaran pembangkitan jasmani inlah yang menimbulkan kritik tajam
Al Ghozali, bahkan para filosofnya ia hukum keluar dari Islam (kafir).
Pendapat ini mengandung arti bahwa
pembalasan di akhirat hanya disediakan untuk roh semata sedangkan jasad akan
lenyap seperti jasad hewan dan tumbuh-tumbuhan. Padahal, manusia yang diberi
beban oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad dan roh. Sebenarnya
terjadinya perbedsan interprestasi tentang hal ini disebabkan berbedanya
pemahaman ajaran dasar dalam Islam yang tidak akan membawa pada kekafiran,
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibnu
Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Di samping
sebagai dasar berpikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya yang terdapat
pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut
Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu, jiwa
tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan
dan tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat
fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia juga.
Demikianlah pembahasan tentang Ibnu
Sina, kendatipun kebanyakan pemikiran-pemikiran filsafatnya telah dikemukakan
Al Farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci
dan lengkap dengan gaya yang menarik. Karenanya tepat sekali penilaian yang
mengatakan bahwa di tangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam Timur mencapai
puncaknya yang tertinggi.[21]
5.
Akal
Jiwa manusia, yang disebut juga (القوة
الناطقة),
mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis
hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan
sebagai berikut:
a) Akal Materiil (العقل
الهيولانى)
yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun
sedikit.
b) Akal Al-malakat (العقل
الملكة)
yang telah mlai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c) Akal Aktual (العقل
بالفعل)
yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d) Akal Mustafad (العقل
المستفاد),
yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya
upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif.[22]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu
Sina adalah seorang filosof yang sejarahnya menarik untuk dibahas dan dikaji, sebab
Ibnu Sina adalah seorang filosof yang pada masa hidupnya dapat membawa
pemikiran filsafat islam mencapai kejayaannya. Dalam berfilsafat, gagasan Ibnu
Sina yang paling menarik dan dapat dikatakan hampir sempurna penjelasannya
adalah pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa, tetapi dalam menjelaskan tentang alam
yang bersifat luas ini Ibnu Sina masih banyak mendapatkan kebingungan-kebingungan,
dimana hal itu dapat dijadikan tugas bagi para filosof-filosof muslim baru di
era sekarang ini untuk menyempurnakannya.
Dalam memahami pemikiran filosof
muslim kadang-kadang kita mengalami kebingungan karena banyak sekali ungkapan
filosof muslim yang berbeda dengan kepercayaan kita, hal ini kurang lebihnya
karena kita dalam beragama langsung menerima apa yang didoktrinkan kepada kita
sejak lahir, berbeda dengan para filosof, mereka berusaha merasionalkan doktrin
agama dengan mengkritisi doktrin tersebut sebagai objek, sehingga di temukan
hakikatnya.
Pemikiran
para filosof adalah sebuah pemikiran yang bersifat ilmiah karena menggunakan
prinsip berfikir dengan metode yang telah ada dan disepakati keberadaannya dan tersusun secara sistematis. Sebagai seorang
mahasiswa yang terpaut keberadaanya sangat jauh dengan Ibnu Sina kita dituntut
untuk memperbarui pemikiran Ibnu Sina yang kita rasa telah tidak harmonis lagi di
era yang sekarang ini, karena lebih berkembangnya teknologi dan kekritisan manusia
sekarang, oleh sebab itu maka dalam
menolak pemikiran Ibnu Sina kita juga harus berfikir secara ilmiah sebagaimana
Ibnu Sina tetapi disertai dengan penelitian dengan pemaksimalan teknologi yang
ada di masa sekarang ini yang belum ada pada masa Ibnu Sina.
[1]Muhammad Athif Al-'Iraqy,
al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1978), h. 70.
[2]Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1996),
h.50.
[3]Nurcholish Madjid, Kaki
Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 94.
[4]Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn
Sina, (Kairo: Dar al-Ma'arif, ttd), h. 20.
[5]Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.115.
[6]Harun Nasution, Falsafat
dan Misticisme dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 29.
[7]Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam, Ter. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1987), h. 191.
[8]Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat
Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 68.
[11]Hana Al-Fakhury &
Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Beirut: Mu'assasat li
al-Thaba'ah wa al-Nasyr, 1963), h. 443.
[12]Yunasril
Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), h. 62.
[13]Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 65.
[14]Ibid
[15]Ibid
[17]Sirajuddin Zar, Konsep
Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-qur'an, (Jakarta;
Rajawali Prees, 1994), h. 180.
[18]Loekisno Choiril Warsito,
dkk., Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 8.
[19]Ibnu Sina, al-Najat, (kairo:
Musthafa al-Baby al-Halaby, 1938), h. 398.
[21]Hasyim
Syah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.
74.
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking