Maandag 29 April 2013

FLSAFAT: Biografi Ibnu Sina


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
 Agama adalah sebuah keyakinan yang diyakini oleh sekelompok manusia yang dalam proses penyebaranya menggunakan doktrin-doktrin yang kadang-kadang belum terbukti kebenarannya berdasarkan pembuktian rasio akal. Berdasarkan perkembangan zaman yang semakin maju dibidang intelektual maupun teknologi yang dikembangkan oleh manusia, berdampak banyaknya pertanyaan yang timbul dikarenakan kritisisme terhadap doktrin-doktrin agama yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Oleh sebab itu, muncullah para filosof-filosof muslim yang memiliki peran yang sangat penting dalam perasionalan doktrin-doktrin agama, agar agama lebih mudah diyakini dan diterima oleh masyarakat. Seperti halnya Ibnu Sina, Ibnu Sina adalah Filosof muslim yang paling gemilang pemikirannya di bandinkan para filusuf yang lain, sehingga pemikirannya mudah diterima oleh masyarakat dalam menjelaskan tentang objek-objek yang dikaji dalam agama, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat islam dapat mencapai puncak kejayaannya yaitu pada masa Ibnu Sina.
Oleh sebab itu, kita akan membahas tentang Ibnu Sina dimulai dari sejarah hidupnya, dan pemikiran filsafatnya dengan harapan kita dapat memahami dan meneruskan perjuangan Ibnu Sina dalam merasionalkan doktrin-doktrin agama, terutama yang masih bersifat irasional agar mudah diterima dan diyakini oleh masyrakat di era modern ini.

B.   Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui sejarah hidup Ibnu Sina, dan
2.      Mengetahui pemikiran filsafat Ibnu Sina tentang Tuhan, Manusia, Alam, Jiwa, dan Akal.

A.  Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu 'Ali al-Husein ibnu 'Abd Allah ibn al-Hasan ibnu 'Ali ibn Sina. Ia dilhirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada  tahun 370 H (8-980 M) dan meninggal dunia pada tahun 428 H (1037 M) dalam usia 58 tahun dan jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[1] Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[2] ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Mansur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, suatu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (Ibn Sina), dan Muhammad.
Nama  Ibnu Sina di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[3]
Ibnu Sina mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur'an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendati pun ia belum memahaminya sampai membaca ulasan Al-Farabi.[4] Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, Fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.[5] Dan ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun, dengan kepintarannya yang sangat mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapapun  juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu Mansur, yang sebelumnya tidak seorang dokterpun mampu menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[6] Bahkan, ilmu kedokteran yang ia dapatkan adalah hasil dipelajarinya sendiri.
Di antara guru-gurunya hanya Abu 'Abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan Isma'il (seorang zahid).[7] Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga dia diberikan kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibn Sina dapat menghafal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra'is ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir).
Pada masa mudanya Ibn Sina tertarik kepada aliran Syi'ah Isma'iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengar percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau dengan kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka.[8] Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam autobiografinya, ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan menjahuinya. Hal itu menunjukkan kemandirian berpikir Ibn Sina dan tidak mengikuti mazhab Sunnah maupun mazhab Syi'ah. Ia muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi (mazhab Ibn Sina). Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cenderung ke Syi'ah atau cenderung ke Sunnah. Tampaknya, Ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang keagamaan.
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syeikh al Ra'is (Kyai Utama).[9]
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, Kutub Khana terbakar, Ibnu Sina  dituduh membakarnya,[10] dengan alasan agar orang lain tidak dapat menguasai ilmu di sana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.[11]
    
B.  Ibnu Sina dan Pemikiran Filsafatnya
1.      Tuhan
          Membahas tentang Tuhan dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang metafisika, menurut Ibnu Sina metafisika adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagai adanya dan sejauh yang dapat diketahui mausia.[12] Dan berkaitan dengan metafisika Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.
a. Wajib al-wujud
Yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib al-wujud ke dalam dua pembagian, yaitu:
1)      Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan olae zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraiakan dengan wujud karen keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh tiada (ma'dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun.[13]
2)      Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Mislnya : Adanya basah disebabkan oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 4 karena ada 2+2, dan sebagainya.[14]
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensinya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama’).
          Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir kepada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.[15]

2.      Manusia
          Terdapat tiga objek kajian yang akan dibahas dalam pembahasan manusia, yaitu: Wujud manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia, akan tetapi objek pembahsan jiwa dan akal pada manusia akan di jelakan pada pembahasan filsafat jiwa Ibnu Sina pada pembahasan ke lima.
a.    Dalam menjelaskan tentang wujud manusia Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiahnya untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, berikut penjelasannya:
          Mumkin al-Wujud adalah Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.[16]
b.    Dalam menjelaskan tentang awal mula proses muculnya ruh, maka kita akan melihat pada teori emanasi Ibnu Sina.

            Proses munculnya ruh diawali dengan adanya Akal X yang dayanya sudah sangat lemah berfikikir tenteng Allah sebagai Wajib wujud li dzatihi menghasilkan pemikiran ke 10 yang berfikir tentang Wajib wujud li ghairihi menghasilkan jiwa ke 10 dan berfikirnya tentang dirinya sendiri sebagai Mumkiul wujud li dzatihi menghasilkan berbagi unsur dasar dari bumi dan juga ruh manusia. Dan jiwa ke 10 itulah yang menggerakkan roh.[17]
            Menurut Ibnu Sina jika manusia telah meninggal maka hanya raganya saja yang tidak aktif, tetapi rohnya akan tetap hidup, dan roh yang abadi itu akan mengalami sikasa dan kesenangan.[18]

c.       Alam
Ibnu Sina, sebagaimana juga al-farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi.
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan renungan ibnu sina (juga al- Farabi), tetapi  berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The One). Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari hanya yang satu yang melimpah.”Ini diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Al- Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinan karena dalam al-quran tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun  prinsip ibnu sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif.Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika allah (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan terhadap zatnya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah Akal kedua, Jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tida dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah.[19]
Berlainan dengan Al-Farabi, bagi Ibnu sina Akal pertama mempunyai dua sifat: Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat munkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (Wajib al-wujud li Szatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikatnya.
Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi dipancarkan Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi yang maha dasyhat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu allah tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang mencitakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqqul allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Berbeda dengan pendahulunya, Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, Akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah malaikat jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.[20]
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.
Telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara Plotinus dengan Ibnu sina (juga al-Farabi) ialah: bagi Plotinus ala mini hanya terpancar dari yang satu (tuhan), yang mengesankan Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu, dalam Islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama islamtermasuk ajaran pokok atau qath’I al-dalalah. Dengan kata lain, ekhalikan allah ini esti diimani sepenuhnya. Orang yang mengingkari dapat membawa pada kekafiran.Atas dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya erupakan ibarat yang menyesatkan.       
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak zaman Azali. Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan tersebut terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini baharu. Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, Ia sebab semua yang ada dan Ia pencipta alam.



4.         Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalam al Quran dan Hadist diistilahkan dengan al Nafs atau al Ruh.
Sebagaimana yang terkandung pada al Shod ayat71-72:
اِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ اِنِّى خَالِقٌ بَشَرًامِنْ طِيْنٍ.
فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِى فَقَعُوالَهُ سَاجِدِيْنَ.
Artinya:
     Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila telah Kusmpurnakan kejadianya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.”
Sebagaimana yang terkandung pula pada al Isro’ ayat 85:

وَيَسْاَلُونَكَ عَنُ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَا اُوتِيْتُمْ مِنَ العِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا.
Artinya:
 “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-Ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari Akal Sepuluh. Secara garis besarnya, pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian, yakni:
a.       Fisika, membicarakan tentang jiwa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1)      Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية) mempunyai tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2)      Jiwa binatang (النفس الحيوانية) mempunyai dua daya: gerak dan menangkap. Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a)      Menangkap dari luar (المدركة من الخارج) dengan panca indra.
b)      Menangkap dari dalam (المدركة من الداخل) dengan indra-indra batin, yang terdiri atas lima indra, yakni:
(1)   Indra bersama (الحس المشترك), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
(2)   Representasi (القوة الخيال) yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama.
(3)   Imajinasi (القوة المتخيلة) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal.
(4)   Estimasi (القوة الوهمية) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
(5)   Rekoleksi (القوة الحافظة) yang menyimpan  hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan,  tumbuh, dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak erta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
3)      Jiwa manusia, yang disebut juga(القوة الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
a)      Akal Materiil (العقل الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b)      Akal al-Malakat (العقل الملكة) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c)      Akal Aktual (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d)     Akal Mustafad (العقل المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
b.      Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:
1)      Wujud Jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil, yakni:
a)      Dalil Alam Kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1)      Gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar.
2)      Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu, yang berlawanan dengan alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal, menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim.
b)      Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
c)      Dalil Kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinue (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur kita tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
d)     Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Ringkasnya adalah sebagai berikut.
Andaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud sempurna, kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup, maka ia tidak akan melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
      Demikianlan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina sebagai bukti tetang adanya jiwa. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
2)      Hakikat Jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi: “Kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagai layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur: materi (مادة) dan form (صورة). Materi adalah jasad menusia dan form adalah jiwa manusia. Form  yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya materi atau jasad akan membawa hancurnya form atau jiwa.
            Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari matei-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (النفس جوهر قائم بذاته).
            Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Sina mengemukakan beberapa argumen berikut:
a)      Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (معقولات) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
b)      Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (كلى) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu, indra dan khayal hanya dapat mengetahui yang konkret (جزئ) dengan alat. Jadi jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan indra dan khayal.
c)      Jasad atau organnya jika melakukan kerja berat atau berulang kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak. Sebaliknya, jiwa jika dipergunakan terus-menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
d)     Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sebaliknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.
3)      Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato telah membicarakan hubungan antara jiwa dan jasad. Aristoteles menggembarkan hubungan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya, Plato seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan antara keduanya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Ibnu Sina kelihatannya menerima penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, namun hubungannya bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan pendapat Plato bahwa hubungan keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adlah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
4)      Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasadd yang akan ditempatinya telah diadakan. Pendapat ini sekaligus menolak konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di alam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima, seperti dikemukakan di atas, maka akan terjadi jiwa tanpa jasad, atau adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa. Sementara itu, di akhirat akan terjadi pembalasan secara kolektif.
Ibnu Sina kelihatannya lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Alquran. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya ini dikekalkan oleh Allah (الخلود). Jadi, jiwa adalah barang baru (حادث) karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Sesuai dengan isyarat di atas, secara eksplisit Ibnu Sina mengatakan bahwa yang dibangkitkan di akhirat nanti hanya rohnya. Pengingkaran pembangkitan jasmani inlah yang menimbulkan kritik tajam Al Ghozali, bahkan para filosofnya ia hukum keluar dari Islam (kafir).
Pendapat ini mengandung arti bahwa pembalasan di akhirat hanya disediakan untuk roh semata sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad hewan dan tumbuh-tumbuhan. Padahal, manusia yang diberi beban oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad dan roh. Sebenarnya terjadinya perbedsan interprestasi tentang hal ini disebabkan berbedanya pemahaman ajaran dasar dalam Islam yang tidak akan membawa pada kekafiran,
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Di samping sebagai dasar berpikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu, jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia juga.
Demikianlah pembahasan tentang Ibnu Sina, kendatipun kebanyakan pemikiran-pemikiran filsafatnya telah dikemukakan Al Farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci dan lengkap dengan gaya yang menarik. Karenanya tepat sekali penilaian yang mengatakan bahwa di tangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam Timur mencapai puncaknya yang tertinggi.[21]



5.         Akal
Jiwa manusia, yang disebut juga (القوة الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:
a)    Akal Materiil (العقل الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b)   Akal Al-malakat (العقل الملكة) yang telah mlai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c)    Akal Aktual (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d)   Akal Mustafad (العقل المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[22]

      










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Ibnu Sina adalah seorang filosof yang sejarahnya menarik untuk dibahas dan dikaji, sebab Ibnu Sina adalah seorang filosof yang pada masa hidupnya dapat membawa pemikiran filsafat islam mencapai kejayaannya. Dalam berfilsafat, gagasan Ibnu Sina yang paling menarik dan dapat dikatakan hampir sempurna penjelasannya adalah pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa, tetapi dalam menjelaskan tentang alam yang bersifat luas ini Ibnu Sina masih banyak mendapatkan kebingungan-kebingungan, dimana hal itu dapat dijadikan tugas bagi para filosof-filosof muslim baru di era sekarang ini untuk menyempurnakannya.
            Dalam memahami pemikiran filosof muslim kadang-kadang kita mengalami kebingungan karena banyak sekali ungkapan filosof muslim yang berbeda dengan kepercayaan kita, hal ini kurang lebihnya karena kita dalam beragama langsung menerima apa yang didoktrinkan kepada kita sejak lahir, berbeda dengan para filosof, mereka berusaha merasionalkan doktrin agama dengan mengkritisi doktrin tersebut sebagai objek, sehingga di temukan hakikatnya.
            Pemikiran para filosof adalah sebuah pemikiran yang bersifat ilmiah karena menggunakan prinsip berfikir dengan metode yang telah ada dan disepakati keberadaannya dan tersusun secara sistematis. Sebagai seorang mahasiswa yang terpaut keberadaanya sangat jauh dengan Ibnu Sina kita dituntut untuk memperbarui pemikiran Ibnu Sina yang kita rasa telah tidak harmonis lagi di era yang sekarang ini, karena lebih berkembangnya teknologi dan kekritisan manusia sekarang,  oleh sebab itu maka dalam menolak pemikiran Ibnu Sina kita juga harus berfikir secara ilmiah sebagaimana Ibnu Sina tetapi disertai dengan penelitian dengan pemaksimalan teknologi yang ada di masa sekarang ini yang belum ada pada masa Ibnu Sina.


[1]Muhammad Athif Al-'Iraqy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1978), h. 70.
[2]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1996), h.50.
[3]Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 94.
[4]Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina, (Kairo: Dar al-Ma'arif, ttd), h. 20.
[5]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.115.
[6]Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 29.
[7]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Ter. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 191.
[8]Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 68.
[9]Ibid., Nurcholish Madjid, h. 33.
[10]Ibid., Muhammad Athif Al-'Iraqy, h.
[11]Hana Al-Fakhury & Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Beirut: Mu'assasat li al-Thaba'ah wa al-Nasyr, 1963), h. 443.
[12]Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 62.
[13]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 65.
[14]Ibid
[15]Ibid
[16]Ibid., Majid Fakhry, h. 65.
[17]Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-qur'an, (Jakarta; Rajawali Prees, 1994), h. 180.
[18]Loekisno Choiril Warsito, dkk., Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 8.
[19]Ibnu Sina, al-Najat, (kairo: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1938), h. 398.
[20]Ibid, Harun Nasution., h. 30.
[21]Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 74.
[22]Ibid., h. 73.

0 opmerkings:

Plaas 'n opmerking